Anak Buah Sri Mulyani Berencana Tarik Cukai Emisi Mobil

Kemenkeu ajukan pengenaan cukai terhadap emisi atau gas buang kendaraan bermotor pada 2018 sebagai objek cukai baru.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 13 Nov 2017, 18:30 WIB
Diterbitkan 13 Nov 2017, 18:30 WIB
Mobil Sport Mungil Honda Siap Diproduksi, Bermesin 660 cc!
Honda S660 bakal memiliki panjang 3.395 mm, lebar 1.475 mm, tinggi 1.180 mm dengan jarak sumbu roda sebesar 2.285 mm.

Liputan6.com, Jakarta - Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah mengkaji pengenaan cukai terhadap emisi atau gas buang kendaraan bermotor, baik mobil maupun motor. Rencananya pungutan cukai ini bisa diajukan pada tahun depan sebagai objek cukai baru.

Kepala BKF Kemenkeu, Suahasil Nazara mengungkapkan, mobil dan motor dengan CC lebih besar memiliki emisi lebih tinggi, sehingga dampak ke lingkungan semakin besar. Oleh karena itu, ada kajian pengenaan cukai berdasarkan emisi kendaraan.

"Yang CC-nya lebih tinggi biasanya emisinya lebih tinggi. Biasanya mobil yang emisinya lebih besar, kita memang ingin bisa membayar lebih tinggi," kata dia saat ditemui di kantornya, Jakarta, Senin (13/11/2017).

Menurut Suahasil, saat ini kendaraan dengan CC lebih besar dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan Pajak Penjualan (PPN). Dengan demikian, ada penerapan dua rezim pada kendaraan bermotor.

"Ada baiknya ini menjadi simpel, kalau PPnBM apakah dia benar-benar jadi value added, atau sebagai barang yang mengeluarkan emisi, lalu dia masuk dalam kategori peredarannya atau konsumsinya perlu ditekan. Jadi ini barang yang punya eksternalitas negatif, sehingga dia lebih tepat dikenakan cukai," papar dia.

Dia memastikan tidak akan menambah beban masyarakat dengan mengenakan dua pungutan, yakni PPnBM dan cukai untuk kendaraan tersebut.

"Kalau PPnBM kan dikonsumsi oleh yang ekonomi tinggi. Kalau kita bisa menyederhanakan PPnBM akan lebih baik, jadi satu rezim PPN (PPN besar), sementara yang PPnBM untuk barang super mewah," ujarnya.

"Kalau konsumsi dibatasi, eksternalitas negatif, nanti dapat dikenakan cukai. Yang kena cuka emisinya. Itu konsep yang berkembang dan menjadi sumber diskusi," tutur Suahasil.

Dia berharap, usulan pengenaan cukai emisi kendaraan bermotor dapat diajukan ke DPR pada tahun depan. Jika disetujui, akan segera berlaku di tahun yang sama. "Harusnya bisa (2018)," ujar dia.

 

Sri Mulyani: Target Pajak Rp 1.424 Triliun Lebih Hati-Hati

Sebelumnya Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati memasang target penerimaan pajak sebesar Rp 1.424 triliun pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018. Pemerintah akan berupaya keras mengumpulkan penerimaan pajak melalui berbagai langkah, salah satunya terus menjalankan reformasi.

"Jika dibandingkan target penerimaan pajak 5 tahun terakhir, target ini (2018) adalah target penerimaan pajak yang prudent (hati-hati). Semua pandangan para pengamat, tidak komplein terhadap target yang tumbuh mendekati 10 persen," jelas Sri Mulyani di kantornya, Jakarta, Rabu 25 Oktober 2017.

Dari data APBN 2018, pemerintah mematok target setoran pajak sebesar Rp 1.424 triliun. Berasal dari Pajak Penghasilan (PPh) migas sebesar Rp 38,1 triliun dan pajak nonmigas Rp 1.345,9 triliun.

Ditambah dengan penerimaan bea dan cukai dengan target Rp 194,1 triliun, maka total target penerimaan perpajakan mencapai Rp 1.618,1 triliun di tahun depan.

Target penerimaan perpajakan di tahun depan naik dibanding asumsi RAPBN 2018 yang sebesar Rp 1.609,4 triliun dan meningkat dari outlook 2017 sebesar Rp 1.472,7 triliun. Sementara rasio pajak ditargetkan 11,6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) di 2018.

Sri Mulyani menambahkan, pemerintah akan berupaya semaksimal mungkin mencapai target penerimaan pajak sebesar Rp 1.283,6 triliun di APBN-Perubahan (APBN-P). Dengan demikian, pertumbuhan target antara tahun ini dan tahun depan tidak lebih tinggi dari 10 persen.

"Tahun ini belum tutup, masih ada 2 bulan lagi dan kita akan lakukan semaksimal mungkin melalui reformasi dari dalam Ditjen Pajak dengan lebih profesional. Bekerja sama dengan Bea Cukai, cara kerja yang lebih rapi sehingga memberi konfiden," terangnya.

Pemerintah, sambungnya, tidak mengumpulkan setoran pajak dengan menaikkan tarif pajak. Namun melaksanakan pemungutan berbasis pada data yang kredibel, tanpa membuat masyarakat dan dunia usaha khawatir ataupun takut.

"Kalau jalan saja, tidak banyak bicara, kerjakan, rakyat bisa memahami kok. Saat kita bisa buktikan Anda punya omset 100 misalnya, lalu bayar pajaknya, maka si Wajib Pajak akan membayar pajak tanpa merasa diintimidasi. Tapi kalau omset dia 100, kita bilang 500, itu menimbulkan persoalan," tegas Sri Mulyani.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu mengatakan, pemerintah Indonesia dapat mengumpulkan penerimaan pajak cukup besar dari potensi yang ada. Bank Dunia dan International Moneter Fund (IMF), menyebutkan potensi penerimaan Indonesia cukup besar 1,2 persen dari PDB apabila mampu menghilangkan kerumitan dalam mekanisme pajak yang selama ini berjalan.

"Dalam tataran Undang-undang, banyak kebijakan yang memberikan banyak sekali exemption, bahkan sampai Peraturan Dirjen. Ini menimbulkan kesulitan di dalam penegakkan hukumnya. Kita akan reformasi, salah satunya membahas amandemen UU KUP, UU PPh dan UU PPN. Diharapkan bisa tepat waktu," papar Sri Mulyani.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya