Liputan6.com, Jakarta - Keberadaan perusahaan pencari migas (Kontraktor Kontrak Kerjasama/KKKS) tidak memiliki modal alias duafa, membuat jumlah Wilayah Kerja (WK) atau blok migas menurun di Indonesia.
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Amien Sunaryadi mengatakan, jumlah blok migas ada 255 pada 2017, menciut dari 2016 sebanyak 288 blok migas.
Blok migas tersebut 87 ekplorasi terdiri dari 73 blok produksi, 14 blok pengembangan. 119 eksplorasi 88 blok aktif,31 blok terminasi. Blok non konvensional terdiri dari 43 blok aktif dan 6 blok proses terminasi.
Advertisement
Baca Juga
"Total ada 255 WK. Sebelumnya saya selalu Sebelumnya di 2016 ada 280 WK. Jadi dari 2016 jumlahnya 280 WK, di akhir 2017 jumlahnya 255 WK," kata Amien, di Kantor SKK Migas, Jakarta, Jumat (5/1/2018).
Amien mengungkapkan, berkurangnya jumlah blok migas pada 2017 tersebut akibat dari blok migas yang kontraknya diputus (terminasi) karena tidak kunjung digarap oleh perusahaan pencari migas sampai waktu yang ditentukan.
"Ini KKKS-nya kelas duafa, mau seismik enggak punya uang mau eksplorasi enggak punya uang," ujar dia.
Amien menuturkan, kebanyakan perusahaan pencari migas duafa tersebut berasal dari dalam negeri. Dia menyebutkan blok migas yang digarap perusahaan pencari migas duafa di antaranya Selat Panjan dan West Kampar.
"Jumlah WK menurun tidak apa-apa karena kebanyakan yang terminasi ini adalah WK yang kelas dhuafa," tutur Amien.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Anggaran Terbatas, Data Potensi Migas RI Masih Minim
Sebelumnya, Indonesia masih mengalami kendala dalam meningkatkan potensi minyak dan gas bumi (migas). Hal ini diakibatkan oleh minimnya data yang dimiliki karena keterbatasan biaya untuk melakukan pendataan.
Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ego Syahrial mengatakan, selama ini pendataan Wilayah Kerja (WK) atau blok migas dilakukan oleh pemerintah dan perusahaan pencari migas atau Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS).
Untuk kegiatan pendataan yang dilakukan pemerintah melalui Kemenetrian ESDM memang masih minim. "Kalau kita jujur, selama ini yang memang datanya disiapin badan usaha, oleh KKKS," kata Ego, di Jakarta, Kamis 4 Januari 2018.
Selain masih minim kegiatan pencarian potensi migas juga kurang detail, sehingga membuat data yang dimiliki pemerintah kurang akurat. Kondisi ini membuat peningkatan temuan potensi migas di Indonesia tidak agresif.
"Contohnya begini, dalam melakukan survei seismik, kalau data yang disiapkan oleh badan usaha, dia meneliti dari kiri ke kanan. Jadi orang jalan lalu balik lagi. Kalau data yg disiapkan oleh pemerintah karena anggarannya terbatas dan melakukannya dengan sistem 2D, memang kerapatan kualitas datanya tidak sebagus badan usaha," papar dia.
Ego mengungkapkan, mimimnya kegiatan pendataan potensi migas diakibatkan oleh keterbatasan anggaran. Pada 2017 saja pencarian potensi migas dilakukan hanya pada tiga lokasi, yaitu Arafura selatan Rp 25 miliar, Selaru Timur Rp 25 miliar, Buru Offshore Rp 25 miliar.
Sedangkan 2018 mengalami penurunan anggaran, sehingga hanya dua lokasi yang didata yaitu Selat Bangka di Sulawesi Selatan Rp 29 miliar dan Singkawang di Kalimantan Barat Rp 29 miliar.
"Memang anggaran pemerintah terbatas. Karena pemerintah paling satu tahun keluarin anggaran, dipa, untuk kegiatan pencarian seismik baru yang ada di badan geologi tidak sampai Rp 90 miliar," tutupnya.
Untuk diketahui, Indonesia memiliki 128 cekungan, saat ini yang baru 40 persen yang berhasil dieksplorasi dan eksploitasi, 20 persennya baru dieksplorasi tahap awal belum ada kepastian potensi, sedangkan sisanya belum tersentuh, sebagian besar cekungan yang belum didata terletak di Indonesia Timur dan laut dalam.
Advertisement