Liputan6.com, Jakarta - Porsi kepemilikan asing terhadap Surat Berharga Negara (SBN) mengalami kenaikan dari sebelumnya 37,62 persen menjadi 40,3 persen. Saat ini total utang pemerintah senilai Rp 2.106,6 triliun. Lantas bahayakah penguasaan 40 persen SBN oleh asing?
Head of Intermediary PT Schroders Investment Management Indonesia Teddy Oetomo mengatakan‎ sebenarnya rata-rata porsi kepemilikan asing terhadap utang di negara lain di dunia memang bisa mencapai 30 persen. Dengan demikian, jika berbicara risiko, bukan hanya Indonesia yang miliki risiko terhadap kepemilikan investor asing terhadap SBN-nya.
"Rata-rata dunia 20 persen-30 persen, apakah itu risiko? Semua negara berisiko terhadap arus asing. Kalau dipikir secara simple, asing semua yang ada di luar Indonesia, Amerika Serikat (AS) dan China juga berisiko. Kalau AS beberapa tahun lalu sampai dolar AS naik banget, padahal yang beli asing juga," ujar dia di Jakarta, Rabu (10/1/2018).
Advertisement
Baca Juga
Selain itu, untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi memang yang dibutuhkan salah satunya yaitu masuknya investasi di dalam negeri, salah satunya berasal dari asing.‎ "Kalau dihitung setiap pertumbuhan ekonomi 1 persen butuh investasi 6 persen. Maka kalau mau pertumbuhan ekonomi 6 persen komposisi investasi 35 persen-40 persen, sekarang baru 30 persen. Yang jadi kendala kalau mau menaikkan investasi uangnya dari mana?" kata dia.
Oleh sebab itu, lanjut Teddy, tidak perlu ada yang dikhawatirkan soal porsi kepemilikan asing terhadap SBN. Menurut dia, yang perlu dilakukan pemerintah adalah menjalin komunikasi yang baik agar investor bisa percaya terhadap stabilitas ekonomi Indonesia.
"Apa yang bisa dilakukan pemerintah? Bagaimana pemerintah melakukan komunikasi kepada investor asing. Jangan menutup-nutupi. Harus sering (komunikasi), karena semakin sering dapat informasi, semakin comfortable. Seringkali barangnya bagus, pertumbuhan ekonomi bagus, tapi komunikasinya buruk ya hasilnya buruk," ujar dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Â
Â
Peringkat Utang Membaik, Pemerintah Tak Mau Gegabah Tarik Utang
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan tidak akan mengubah besar surat utang untuk 2018, meski lembaga pemeringkatan internasional Fitch Rating telah menaikkan peringkat utang Indonesia menjadi BBB. Sri Mulyani mengungkapkan, penerbitan surat utang yang akan dilakukan pemerintah akan sama seperti tahun-tahun sebelumnya. "Tidak, kita akan tetap melakukan seperti biasa," ujar dia di Karangasem, Bali, Jumat 22 Desember 2017.
Selain itu, menurut dia, pemerintah juga akan menjalankan terlebih dulu Undang-Undang (UU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018. Hal ini sambil melihat kondisi keuangan negara di tahun depan. "Saya tidak akan memperbesar (surat utang). UU APBN saja baru kita mulai 1 Januari," tandas dia. Lembaga pemeringkat internasional Fitch Ratings mendongkrak peringkat Long Term Foreign dan Local Currency Issuer Default Rating Indonesia menjadi BBB dari sebelumnya BBB- dengan outlook stabil. Mengutip laman Fitch Ratings, kenaikan peringkat utang Indonesia itu didukung ketahanan Indonesia terhadap guncangan eksternal atau faktor global dalam beberapa tahun terakhir.
Selain itu, kebijakan makroekonomi secara konsisten untuk menjaga stabilitas. Kebijakan nilai tukar yang lebih fleksibel sejak pertengahan 2013 juga membantu menopang cadangan devisa Indonesia menjadi US$ 126 miliar.
Fitch juga menilai, Indonesia mampu disiplin menjaga kebijakan moneternya sehingga membatasi dampak dari aliran dana investor asing yang keluar dari Indonesia. Ditambah langkah makro untuk berhati-hati menekan utang luar negeri terutama perusahaan serta pendalaman pasar keuangan juga membantu stabilitas pasar lebih baik.
Selain itu, fokus menstabilkan makroekonomi juga terlihat dalam anggaran yang kredibel dalam beberapa tahun sebelumnya.
Meski ketahanan Indonesia membaik, Fitch melihat Indonesia juga hadapi tantangan eksternal yang tetap ada termasuk potensi tekanan pasar terhadap kebijakan pengetatan moneter oleh bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve.
Ditambah, ketergantungan Indonesia terhadap komoditas juga masih relatif tinggi. Sedangkan tantangan dari dalam negeri, Indonesia akan hadapi tahun politik. Kemungkinan kondisi politik dapat jadi gangguan dalam membuat kebijakan ekonomi terutama jelang pemilihan kepala daerah 2018 dan pemilihan presiden pada 2019. Ini merupakan sentimen domestik yang dapat ganggu pasar.
Pemerintah Indonesia juga masih hadapi tantangan untuk memperbaiki lingkungan bisnis. Meski demikian, langkah-langkah untuk mempermudah keizinan berusaha membuahkan hasil dengan peringkat Indonesia naik tajam ke posisi 72 dari 192 negara terkait kemudahan berusaha.
Reformasi yang dilakukan Indonesia tampaknya berkontribusi terhadap aliran dana investor asing masuk ke Indonesia. Fitch memperkirakan, aliran dana investasi asing secara langsung dapat menutupi defisit transaksi berjalan dalam beberapa tahun ke depan.
Fitch Ratings memperkirakan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia masih kuat di antara negara lainnya. Fitch prediksi PDB Indonesia akan naik menjadi 5,4 persen pada 2018 dan 5,5 persen pada 2019 dari 5,1 persen pada 2017. Indonesia dapat keuntungan dari kenaikan perdagangan global dan stabilnya harga komoditas.
Ditambah belanja infrastruktur publik lebih tinggi, biaya pinjaman lebih rendah dan pelaksanaan reformasi struktural membuat Indonesia lebih kuat.
Beban utang pemerintah termasuk rendah sebesar 28,5 persen dari PDB pada 2017 seperti diharapkan Fitch juga jadi katalis positif. Pemerintah mematuhi batas defisit anggaran sebesar 3 persen dari PDB. Ini membantu kepercayaan investor di Indonesia.
Target defisit pemerintah diperkirakan 2,2 persen dari PDB menunjukkan pendekatan konservatif. Fitch yakin, kenaikan defisit cenderung stabil di 2,7 persen dan bertahan di batas maksimum 3 persen.
Advertisement