Pengamat Minta Jangan Hapus Dulu Premium, Kenapa?

Pengamat ekonomi energy UGM, Fahmy Radhi menilai, penggunaan Premium oleh masyarakat masih tinggi. Bila dihapus akan timbulkan keresahan.

oleh Liputan6.com diperbarui 21 Apr 2018, 17:00 WIB
Diterbitkan 21 Apr 2018, 17:00 WIB
Kenaikan Harga Minyak Dunia Berpotensi Picu Inflasi
Pengendara antre untuk mengisi bahan bakar minyak (BBM) di SPBU Abdul Muis, Jakarta, Jumat (2/2). Kenaikan harga minyak dunia bisa turut berdampak kepada angka inflasi. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah terus mendorong penerapan bahan bakar minyak (BBM) yang ramah lingkungan  termasuk menggencarkan penggunaan BBM yang memenuhi standar Euro 4, agar kualitas udara lebih sehat.

Sesuai amanat Peraturan Menteri (Permen) LHK No 20/Setjen/Kum.1/3/2017 pada 10 Maret 2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, N, dan O, Indonesia seharusnya menerapkan standar emisi Euro 4 untuk kendaraan bermotor tipe baru dan yang sedang diproduksi berbahan bakar bensin, mulai 10 Oktober 2018.

Pengamat ekonomi energi UGM, Fahmy Radhi justru mengatakan, sebaiknya Premium jangan dulu dihapuskan. Sebab, penggunaan Premium oleh masyarakat masih tinggi.

Upaya untuk menarik Premium dari peredaran nampak dari munculnya Pertalite. Sayangnya, harga Pertalite yang tinggi justru menyebabkan perbedaan harga yang jauh antara Pertalite dan Premium. Ini kemudian membuat masyarakat kembali ke Premium.

"Dulu saya setuju Premium dihapus ada jangka waktu 2 tahun ada tahapan yang harus dilalui, termasuk membuat pertalite jadi sebagai bridging. Tapi kalau  Pertalite harganya naik, selisih cukup besar maka tujuan Pertalite sebagai bridging itu gagal. Karena gagal maka dia kembali lagi ke Premium," ujar dia ketika ditemui, di Gado-gado Boplo, Jakarta, Sabtu (21/4/2018).

"Dulu sudah cukup besar (masyarakat yang beralih) ke Pertalite, harga naik, mereka kembali. Dengan jumlah yang masih cukup besar, maka kalau kemudian (Premium) dihapus, yang terjadi adalah resistensi. Perlawanan yang menimbulkan keresahan sosial," lanjut dia.

Selain itu, dia mengatakan kilang milik Pertamina pun belum mampu menghasilkan bahan bakar minyak berstandar Euro 4. Jika demikian, penggunaan Euro 4 malah mengharuskan impor dinaikkan.

"Kalau tidak semua impor. Kalau begitu tidak ada artinya. Atas nama Euro 4, valuta asing kita habis, rupiah kita lemah, hanya semata-mata Euro 4. Saya rasa itu tidak benar juga," tegas dia.

"Kebutuhan jadi besar. Dengan dihapus Premium orang akan pindah, maka ini membengkak. Jadi sejauh mana Pertamina mampu menyediakan yang diolah dari kilangnya sendiri," tutur dia.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Selanjutnya

Kenaikan Harga Minyak Dunia Berpotensi Picu Inflasi
Petugas mengisi bahan bakar minyak (BBM) ke kendaraan di SPBU Abdul Muis, Jakarta, Jumat (2/2). Kenaikan harga minyak dunia akan mendorong kenaikan lainnya, seperti BBM. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Oleh karena itu, menurut dia pergantian direksi di tubuh Pertamina yang baru saja dilakukan juga harus berkonsentrasi pada persoalan ini.

"Saya berharap kalau Bu Nicke yang menggantikan, maka dia harus membuat action plan. Kemudian di lakukan, supaya 2021 dihapus premium, tapi kita tidak perlu impor.  Karena bisa diolah sendiri," ujar Fahmy.

Direksi Pertamina yang  baru harus mulai dari awal lagi untuk melaksanakan rencana yang berisi tahapan peralihan penggunaan BBM.

"Euro 4 itu (targetnya) 2021. Tapi harus ada blue print yang atur tahapan. Misalnya harga pertalite diturunkan sama dengan premium. Agar dia (konsumen) pindah (ke Pertalite). Setelah berhasil 90 persen, Pertalite dengan Pertamax harus ada bridging juga, sehingga akan pindah dengan sukarela," kata dia.

Penataan harga juga harus dilakukan agar masuknya BBM jenis baru dengan standar Euro 4 bisa efektif. Sebab, jika harganya tetap tak dapat dijangkau masyarakat, maka penggunaan Euro 4 tetap rendah.

"Itu (Harga BBM) harus ditata kembali. Misalnya Pertalite diturunkan atau bisa sebaliknya Premium dinaikan, bisa saja seperti itu. Tapi yang penting disparitas harga tidak terlalu lebar sehingga mendorong konsumen secara sukarela pindah. Kalau disparitas tinggi, Rp 1.450 (Perbedaan harga Pertalite dan Premium). saya berpikir kembali lagi ke Premium," ujar dia.

 

Reporter: Wilfridus Setu Embu

Sumber: Merdeka.com

 

 

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

 

 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya