Liputan6.com, Jakarta - LIPIÂ mengatakan di antara masifnya investasi China ke luar negeri, terdapat dua wilayah yang menolak investasi China, yakni India dan Eropa.
Peneliti Migrasi Tenaga Kerja Internasional PSDR-LIPI, Rudolf Yuniarto menjelaskan motif utama penolakan tersebut tak melulu karena alasan politis, melainkan juga sebagai upaya untuk mengantisipasi instabilitas kondisi tenaga kerja lokal. Sebab kebijakan investasi China juga diiringi pengiriman tenaga kerja.
Advertisement
Baca Juga
India, kata Rudolf menolak Investasi China, sebab khawatir investasi yang dilakukan oleh perusahaan dan bank China akan membebani utang negara dan stabilitas tenaga kerja lokal.
"Dia (India) sudah prediksi bahwa perdebatan (soal Tenaga Kerja Asing) seperti yang terjadi di indonesia akan terjadi juga di India," ungkapnya di Kompleks LIPI, Jakarta, Selasa (8/5/2018).
Eropa pun menolak investasi China dengan alasan yang hampir sama, yakni untuk menjaga stabilitas tenaga kerja dan ekonomi dalam negeri.
"Eropa juga memandang skeptis proyek China ini. Negara-Negara Eropa menduga jalur Sutera dibuat untuk memperkuat pengaruh China di kawasan. Tapi itu politis ya," jelas dia.
Dia pun menjelaskan salah satu kelebihan investasi China dengan membawa serta tenaga kerjanya adalah lebih murah, sehingga atas dasar efisiensi investasi China lebih menarik.
"Lebih murah tenaga kerja. China datang dengan, 'saya punya bawaan tenaga kerja sendiri. Jadi secara bisnis (menarik), sekali pun tidak menambah lapangan kerja untuk buruh-buruh lokal. Kayak di Morowali mereka membentuk semacam 'koloni' sendiri, yang isinya semua orang dari negara asalnya," tandas Rudolf.Â
Â
Reporter :Â Wilfridus Setu EmbuÂ
Sumber : Merdeka.com
Kritisi Aturan Baru Tenaga Kerja Asing
Sementara itu, LIPI menilai sanksi terkait penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) ilegal belum terlalu kuat dalam peraturan presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018. Aturan anyar tersebut memberi kemudahan bagi masuknya TKA dan bertujuan menarik investasi lebih banyak ke Indonesia.Â
"Namun Perpres tidak mengatur mengenai sanksi bagi pemberi tenaga kerja yang mempekerjakan TKA ilegal seperti penggunaan tenaga kerja kasar, pemberian upah yang tidak adil," ungkap Peneliti P2K LIPI, Devi Asiati.
Dia mengatakan, berdasarkan data Kemenaker, sampai Juni 2017, ditemukan TKA ilegal sebanyak 1.383 orang. Sebanyak 60 persen karena bekerja tanpa izin dan sisanya penyalahgunaan jabatan.
"Data pelanggaran keimigrasian tahun 2016 paling banyak berasal dari Tiongkok mencapai 24 persen dari 7.787 orang," ujarnya.
Selain itu, pengawasan TKA belum optimal. Ini tampak dari minimnya ketersediaan tenaga pengawas dibandingkan jumlah perusahaan yang ada. Jumlah pengawas TKA 2.294 orang. Jumlah perusahaan 216.547 perusahaan. Idealnya satu pengawas untuk lima perusahaan
"Terdapat lebih dari 150 kabupaten dan kota yang belum mempunyai tenaga pengawas dari 514 kabupaten yang ada. Banyaknya jalur masuk (jalur tikus) TKA ilegal, baik melalui laut dan darat yang sulit untuk diawasi dengan adanya keterbatasan jumlah pengawas," tandasnya.
Advertisement