Hadapi Pelemahan Rupiah, Begini Strategi Bank Indonesia

Jika nilai tukar Rupiah secara year to date (ytd) per 8 Mei 2018 melemah 3,44 persen terhadap Dolar AS.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 09 Mei 2018, 21:26 WIB
Diterbitkan 09 Mei 2018, 21:26 WIB
Gubernur BI, Agus Martowardojo
Agus Martowardojo

Liputan6.com, Jakarta Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo menyatakan jika pelemahan Rupiah yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir merupakan dampak dari menguatnya dolar AS secara berskala luas (broadbased) terhadap seluruh mata uang.

"Ini sehubungan dengan semakin solidnya ekonomi AS di tengah lambatnya pemulihan ekonomi di berbagai kawasan," jelas dia dalam keterangannya, Rabu (9/5/2018).

Dia menyebutkan jika nilai tukar Rupiah secara year to date (ytd) per 8 Mei 2018 melemah 3,44 persen, sedangkan Peso Filipina melemah 3,72 persen, Rupee India 4,76 persen, Real Brasil 6,83 persen, Rubel Rusia 8,93 persen, dan Lira Turki 11,51 persen.

Tekanan pada nilai tukar mata uang negara-negara maju lainnya juga besar. Indonesia telah mengalami beberapa tekanan yang cukup besar seperti saat ini dalam lima tahun terakhir sejak bank sentral AS melakukan program tapering off di tahun 2013.

"Bank Indonesia meyakini bahwa Indonesia juga akan berhasil melewati tekanan saat ini dengan baik, dengan perekonomian yang tetap tumbuh berkesinambungan dan stabil," dia melanjutkan.

Ini dikarenakan kesinambungan pertumbuhan ekonomi Indonesia tercermin dari data realisasi pertumbuhan PDB Triwulan IV 2017, serta pertumbuhan PDB triwulan I 2018 sebesar 5,06 persen (yoy), yang tetap stabil, kuat, dengan struktur ekonomi yang lebih baik.

Kata Agus, pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2018 merupakan capaian tertinggi di pola musiman triwulan I sejak tahun 2015.

Permintaan domestik yang meningkat pada triwulan I 2018 juga didukung oleh investasi yang naik dan konsumsi swasta yang tetap kuat. Sementara itu, kestabilan inflasi tetap terjaga pada level rendah sesuai target 3,5 persen+/-1 persen.

Dia menuturkan, upaya menjaga kesinambungan pemulihan ekonomi, Bank Indonesia tengah terus menempuh langkah-langkah stabilisasi yang diperlukan termasuk terus melanjutkan intervensi di pasar valuta asing secara terukur, stabilisasi di pasar Surat Berharga Negara (SBN).

Kemudian mengoptimalkan berbagai instrumen operasi moneter valas dan Rupiah, termasuk membuka lelang Forex Swap untuk menjaga ketersediaan likuditas Rupiah dan menstabilkan suku bunga di pasar uang untuk memastikan tekanan terhadap nilai tukar Rupiah terkelola dengan baik.

"Bank Indonesia juga tengah mempersiapkan langkah kebijakan moneter yang tegas dan akan dilakukan secara konsisten, termasuk melalui penyesuaian suku bunga kebijakan 7-day Reverse Repo Rate dengan lebih meprioritaskan pada stabilisasi, untuk memastikan keyakinan pasar dan kestabilan makro ekonomi nasional tetap terjaga," dia menandaskan.

Rupiah 14.000 per Dolar AS, Bayang-Bayang Krisis Moneter 1998 Menghantui RI

Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar Sudah Masuk Level Undervalued
Teller menunjukkan mata uang dolar di Jakarta, Jumat (2/2). Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan, posisi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang berada di level Rp13.700 hingga Rp13.800.(Liputan6.com/Angga Yuniar)

Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) diminta tetap waspada terhadap pelemahan kurs rupiah saat ini. Sebab, meski merupakan dampak eksternal, pelemahan ini serupa dengan yang terjadi saat krisis moneter 1998

Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM), Tony Prasetiantono, mengakui, pelemahan ini bukan hanya dialami rupiah, melainkan juga mata uang negara lain. Namun, level Rp 14.000 per dolar AS ini mengingatkannya dengan yang terjadi saat krisis 20 tahun lalu.

"Memang betul rupiah melemah tidak sendiri. Tapi saya catat, pemerintah dan BI agak kurang aware karena Rp 14.000 per dolar AS itu agak kurang nyaman. Itu level yang mirip krisis 1998, ini level yang mestinya jangan terlampaui. Pasar melihat situasi ini sudah seperti 1998," ujar dia di kawasan Tanah Abang, Jakarta, Rabu (9/5/2018).

Tony mengungkapkan, kala itu, fundamental ekonomi Indonesia juga dinilai dalam kondisi yang baik. Namun, tiba-tiba Indonesia mengalami krisis dan kondisinya berubah 180 derajat.

"Kita juga pernah alami situasi seperti ini. Kalau disebut fundamental ekonomi, itu seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, neraca transaksi berjalan, neraca transaksi pembayaran, waktu itu baik-baik saja tapi tiba-tiba terjadi krisis (krisis moneter 1998)," kata dia.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya