Aksi Miliarder Tukar Dolar Mampukah Kuatkan Rupiah?

Inisiatif miliarder yang menukarkan dolar miliknya ke dalam rupiah patut mendapatkan apresiasi.

oleh Septian Deny diperbarui 16 Okt 2018, 12:00 WIB
Diterbitkan 16 Okt 2018, 12:00 WIB
Ilustrasi uang dolar
Ilustrasi (iStock)

Liputan6.com, Jakarta - Inisiatif pengusaha yang menukarkan dolar Amerika Serikat (AS) miliknya ke dalam rupiah patut mendapatkan apresiasi. Namun inisiatif ini dinilai belum cukup untuk memperkuat nilai tukar rupiah.

Pengamat Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, inisiatif pemilik Mayapada Grup Dato Sri Tahir yang menukarkan dolarnya senilai Rp 2 triliun masih jauh dibandingkan devisa hasil ekspor valuta asing (valas) yang harusnya dikonversi dalam rupiah.

"Misalnya ada pengusaha tukar Rp 2 triliun ke dalam rupiah nilainya setara dengan USD 131,5 juta USD (asumsi kurs USD 1: Rp 15.200). Sementara dibandingkan Devisa Hasil Ekspor (DHE) per Juni 2018 senilai USD 69,88 miliar. Artinya USD 131,5 juta itu setara 0,18 persen dari total DHE," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Selasa (16/10/2018).

Dia mengungkapkan, dari USD 69,88 miliar DHE tersebut, baru sekitar USD 8,6 miliar dikonversi dalam rupiah. Sedangkan sisanya masih dalam bentuk valas, termasuk dolar AS.

"Yang dikonversi ke rupiah baru USD 8,6 miliar. Jadi USD 61,2 miliar atau 87,6 persen masih dalam bentuk valas," ungkap dia.

Oleh sebab itu, jika pengusaha ingin membantu menguatkan rupiah, maka akan lebih efektif dengan mengkonversi DHE-nya ke dalam rupiah.

"Jadi efeknya (penukaran dolar) ada cuma tidak signifikan membantu peningkatan kurs rupiah. Lebih efektif mendorong konversi DHE ke rupiah," tandas dia.

 

Sri Mulyani Beberkan Biang Kerok Pelemahan Rupiah

Menteri Keuangan Of The Years 2018
Menteri Keuangan Sri Mulyani menunjukkan tropi sebagai Menteri Keuangan Of The Years 2018 pada acara Global Markets Award Ceremony di Nusa Dua Bali, Sabtu (13/10). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Rupiah terus melemah hingga di atas 15.000 per dolar Amerika Serikat (AS). Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pelemahan rupiah terjadi diakibatkan semakin membaiknya ekonomi negara Paman Sam tersebut.

Dia menegaskan, pemerintah secara terus menerus memantau dampak kebijakan AS terhadap Indonesia.

"Menyikapi berkembangnya perekonomian terutama yang terjadi di Amerika Serikat sangat kuat yang kemudian menimbulkan sentimen terhadap USD dan beberapa risiko yang berasal dari negara-negara berkembang," ujarnya di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Jumat (5/10).

 

 

 

Dari sisi perekonomian dalam negeri, pemerintah secara aktif terus memantau efektivitas setiap kebijakan yang dilakukan. Pemerintah, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mengkaji instrumen yang perlu ditambah untuk memperkuat ekonomi Indonesia dari segala resiko eksternal.

"Di dalam perekonomian Indonesia sendiri kita juga terus menerus melihat bagaimana dinamika ini harus kita sikapi. Dan kebijakan-kebijakan yang sudah dilakukan pemerintah bersama Bank Indonesia dengan OJK apakah masih perlu untuk ditambah, karena kemudian dinamika yang terjadi berubah atau makin kuat," jelasnya.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut menambahkan, dalam rangka menjaga neraca pembayaran pemerintah sudah melakukan berbagai kebijakan salah satunya mengurangi ketergantungan terhadap impor. Kebijakan yang telah berjalan saat ini adalah penerapan B20 dan evaluasi tarif barang impor sebanyak 1.147.

"Kebijakan yang selama ini sudah ada dimonitor dampaknya dan bagaimana kita untuk terus memperkuatnya. Contohnya karena memang ini masih akan berhubungan dengan neraca pembayaran kita akan terus melihat apa yang sudah pemerintah lakukan," jelasnya.

"Pemerintah sudah melakukan kebijakan seperti B20, kita sudah melakukan monitoring terhadap impor 1.147. Saya setiap minggu mendapatkan laporan dari Dirjen Bea dan Cukai, berapa perkembangan dari impor barang-barang tersebut dan bagaimana ini implikasinya ke neraca pembayaran terutama CAD," tandasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya