Liputan6.com, Jakarta Kurang akuratnya data luas panen dan produksi padi dinilai menyebabkan pemerintah tidak bisa membuat kebijakan yang tepat. Bahkan, kondisi tersebut telah menimbulkan implikasi berupa pasokan beras yang tidak memadai sehingga terjadi kelangkaan dan kenaikan harga.
"Makanya harga berasnya bisa melompat-lompat, tidak stabil. Padahal, itu merupakan pangan yang paling dibutuhkan oleh masyarakat kita," ujar Pengamat Ekonomi Lana Soelistianingsih dikutip dari Antara, Kamis (25/10/2018).
Lana mengingatkan klaim produksi yang terlalu tinggi akibat perkiraan luas lahan baku sawah yang salah bisa membuat defisit beras semakin besar dan meningkatkan ketergantungan impor.
Advertisement
Baca Juga
Untuk itu, dia memberikan apresiasi atas upaya Badan Pusat Statistik (BPS) yang ingin mengeluarkan data produksi beras terbaru secara rutin.
Lana memastikan data ini bisa menjadi langkah awal untuk perbaikan pasokan pangan ke depan serta terciptanya kebijakan penyediaan beras yang lebih memadai.
Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksi produksi beras Indonesia pada tiga bulan terakhir 2018 mencapai 3,94 juta ton. Dengan adanya data ini maka Indonesia secara keseluruhan memiliki potensi produksi beras sebesar 32,42 juta ton hingga akhir tahun.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, produksi beras hingga September sebesar 28,47 juta ton. Angka merupakan angka terbaru dan valid sesuai dengan kajian metode penghitungan metode kerangka sampel area (KSA).
"Produksi beras hingga akhir tahun, perkiraan produksi beras sebesar 32,42 juta ton. Masing masing Oktober hingga Desember sebesar 1,52 juta ton, 1,20 juta ton dan 1,22 juta ton," ujar Suhariyanto di Kantor BPS, Jakarta, Rabu (24/10/2018).
Sementara itu, konsumsi beras Indonesia hingga Desember 2018 diperkirakan sekitar 29,57 juta ton. Angka ini lebih rendah jika dibandingkan dengan produksi beras Januari hingga Desember 2018.
"Dengan demikian, surplus produksi beras di Indonesia pada 2018 diperkirakan sebesar 2,85 juta ton," jelas Suhariyanto.
Meskipun terdapat surplus, namun jumlah produksi ini bukan merupakan stok yang telah diserap oleh Badan Urusan Logistik (Bulog).
Produksi ini masih ada di petani dan tidak bisa disebut sebagai beras cadangan nasional. "Ada surplus beras, tapi ini tersebar di petani," tandas Suhariyanto.
Laporan BPS Keluar, Darmin Ingin Tak Ada Lagi Perdebatan Data Beras
Badan Pusat Statistik (BPS) menerbitkan data terbaru tentang kondisi luas panen dan produksi padi nasional pada 2018. Data ini berasal dari upaya perbaikan metodologi perhitungan data produksi beras dengan metode kerangka sampel area (KSA).
Metode perhitungan dengan KSA ini dinilai lebih valid karena menggandeng sejumlah badan terkait. Mulai dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Badan Informasi Geospasial (BIG) dengan teknologi terkini. Selain itu, perhitungan ini juga melibatkan Kementerian ATR dan Kementerian Pertanian.
Baca Juga
Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengatakan dengan adanya metode terbaru ini, pemerintah memiliki acuan dalam menetapkan kebijakan seperti impor beras. Sehingga ke depan, perdebatan pengadaan impor dapat dihindari.
"Selanjutnya, ya kita akan lebih akurat. Paling tidak pertengkarannya, perdebatannya bisa hilang. Sehingga keputusannya itu tidak terlambat," ujar Darmin di Kantor Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Jakarta, Rabu (24/10/2018).
Darmin mengatakan, tahun ini pemerintah terlambat melakukan impor. Padahal harga beras sudah mulai naik di Oktober sampai November. Hal ini, karena ada kementerian yang menyebut produksi beras surplus, namun pada kenyataannya stok beras di Bulog telah menipis.
"Kemarin ini terlambat. Harga itu mulai naik bulan Oktober-November. Kita rapat Januari kita baru bisa memutuskan waktu itu stok 580 ribu ton atau berapa lah itu, karena ada yang bilang kita mau panen raya di Maret pasti surplus," jelasnya.
"Ayo kita tunggu sampai akhir Maret, tidak naik kan (produksinya)? Ya sudah harus dinaikkan impornya. Jadi, impor itu kalau perlu, sudahlah impor itu bukan barang haram. Daripada harga naik," jelas dia.
Lebih lanjut, dia menambahkan meskipun terdapat surplus beras sebesar 2,85 juta ton menurut data terbaru BPS, tetapi hal ini tidak bisa digolongkan menjadi cadangan beras nasional.
"Karena kita dengan angka produksi sebesar itu dengan ada surplus 2,85 juta ton sebenarnya. Itu kalau petani nyimpen sedikit saja produksinya itu enggak ada di pasar berasnya, susah. Itu yang menjelaskan kenapa waktu itu (awal tahun) stoknya Bulog tinggal 500 ribu ton," tandasnya.
Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Advertisement