Kementerian ESDM Permudah Penetapan Objek Vital Nasional Lewat Regulasi Baru

Aturan baru ini terbentuk sebagai tindak lanjut arahan Presiden Joko Widodo mengenai perlunya pemangkasan dan penyederhanaan perizinan dan birokrasi yang memberatkan iklim investasi.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 01 Des 2018, 11:15 WIB
Diterbitkan 01 Des 2018, 11:15 WIB
ilustrasi tambang migas
Ilustrasi tambang migas (iStockPhoto)

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus melakukan langkah penyederhanaan aturan perizinan guna memberikan kemudahan bagi para investor di bidang energi.

Salah satunya melalui penerbitan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 48 Tahun 2018 tentang Penetapan Objek Vital Nasional (Obvitnas) Bidang ESDM. Adapun Permen Nomor 48 Tahun 2018 ini merupakan penyempurnaan dari Permen ESDM Nomor 4 Tahun 2017 tentang Objek Vital Nasional Bidang ESDM.

Aturan baru ini terbentuk sebagai tindak lanjut arahan Presiden Joko Widodo mengenai perlunya pemangkasan dan penyederhanaan perizinan dan birokrasi yang memberatkan iklim investasi.

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Ego Syahrial mengatakan, regulasi baru ini menghapuskan berbagai persyaratan kepada Badan Usaha (BU) atau Badan Usaha Tetap (BUT), lantaran penetapan Obvitnas sudah ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 2004 yang disesuaikan dengan kriteria per komoditi.

"Permen 48 Tahun 2018 ini sebagai hasil evaluasi yang kami lakukan dengan mendengarkan masukan dari seluruh stakeholders, baik dari Ditjen terkait, BU/BUT Pengelola Obvitnas, Asosiasi, maupun Kementerian/Lembaga terkait. Semangat yang timbul dalam penyusunan Permen ini adalah penyederhanaan regulasi dengan memangkas mekanisme dan persyaratan atau ketentuan yang dirasa memberatkan," ujarnya dalam keterangan resmi, Sabtu (1/12/2018).

Lebih lanjut, ia mengungkapkan, substansi penyederhanaan yang dimuat dalam aturan baru ini antara lain terkait pelayanan satu pintu, mekanisme yang ada tidak rumit, penghapusan persyaratan yang tak relevan, penghapusan jangka waktu status obvitnas, penghapusan sanski, dan penghapusan kewajiban pengusulan penyesuaian kembali oleh obvitnas eksisting.

"Penetapan BU/BUT obvitnas baru melalui satu pintu, yakni Sekretariat Jenderal. Kami akan duduk bersama Direktorat Jenderal terkait," ungkap dia.

"Misal yang mengusulkan subbidang listrik, maka yang kami undang dari Ditjen Ketenagalistrikan, apakah masuk kriteria ini atau tidak. Kalau masuk kami mengusulkan ke Bapak Menteri (Ignasius Jonan) untuk proses penetapan, lebih efisien," tegas Ego.

Hingga saat ini, dia menjelaskan, sebanyak 331 Obvitnas telah ditetapkan untuk sektor ESDM, dengan rincian Subsektor Minyak dan Gas Bumi sebanyak 242 Obvitnas, Ketenagalistrikan sejumlah 51 Obvitnas, subsektor Mineral dan Batubara 26 Obvitnas, serta subsektor EBTKE berjumlah 12 Obvitnas.

"Keseluruhan Obvitnas eksisting tersebut tetap berstatus sebagai objek vital nasional dan tidak ada yang dicabut," pungkas Ego.

Kapasitas Kilang RI di Bawah Rata-Rata di Asia Pasifik

Ilustrasi tambang migas
Ilustrasi tambang migas (iStockPhoto)

Pertamina mengeluarkan laporan Pertamina Energy Outlook untuk memberikan insight seputar sumber daya energi di Indonesia. Salah satu yang disorot adalah kapasitas kilang minyak Indonesia.

"Di tahun 2018, Indeks daya saing kilang Indonesia masih ada yang berada di bawah rata-rata kilang Asia Pasifik," tulis Pertamina dalam laporannya.

Sebagai perbandingan, kilang Cilacap memiliniki nilai indeks 5,8 dan kilang Balikpapan memiliki indeks 3,7. Sementara, kilang Melaka 2 Malaysia dan Jurong Singapore masing-masing memiliki indeks 7,3 dan 11,9.

Untuk kebutuhan energi di Indonesia sampai 2030 diperkirakan diesel meningkat 3,4 persen; Gasoline meningkat 1,5 persen; dan Bio Fuel meningkat 5 persen. Sementara, kebutuhan untuk avtur meningkat 5,1 persen.

Pertamina menyebut, Indonesia berada dalam kondisi defisit minyak yang besar. Penguasaan cadangan dan produksi Indonesia masing-masing sekitar 0,18 persen dan 1,02 persen, sementara konsumsi minyak Indonesia sekitar 1,68 persen dari konsumsi minyak dunia.

Tak hanya Indonesia, wilayah Asia Pasifik juga berada dalam kondisi defisit dengan prosi penguasaan cadangan sekitar 2,83 persen dan produksi 8,50 persen. Padahal, konsumsinya mencapai 35,12 persen dari konsumsi minyak dunia.

Untuk penguasaan gas, keadaan Indonesia masih lebih baik ketimbang minyak. Produksi gas masih surplus, meski surplusnya tidak terlalu signifikan.

"Indonesia masih berada dalam kondisi surplus gas, tetapi dengan nilai surplus yang relatif kecil. Penguasaan cadangan dan produksi gas Indonesia masing-masing sekitar 1,50 persen dan 1,84 persen. Sementara konsumsi gas Indonesia sekitar 1,06 persen ari total konsumsi gas dunia," tulis laporan Pertamina.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya