Usul YLKI soal Penetapan Tarif Ojek Online

Pemerintah akhirnya rilis aturan ojek online yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan (PM) Nomor 12 Tahun 2019.

oleh Agustina Melani diperbarui 23 Mar 2019, 17:25 WIB
Diterbitkan 23 Mar 2019, 17:25 WIB
PKL dan Ojek Online Bikin Semrawut Stasiun Palmerah
Pedagang kaki lima (PKL) dan ojek online memadati kawasan Stasiun Palmerah, Jakarta, Kamis (6/12). Kurangnya pengawasan petugas menyebabkan trotoar dan bahu jalan dipenuhi oleh PKL dan ojek online. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah akhirnya rilis aturan ojek online yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan (PM) Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor untuk Kepentingan Masyarakat.

Aturan tersebut ditetapkan dan diundangan pada 11 Maret 2019 oleh Kementerian Hukum dan HAM. Ada 8 bab dan 21 pasal dalam aturan itu.

Akan tetapi, aturan tersebut belum memaparkan tarif. Rencananya soal tarif masuk dalam aturan turun.

Ketua YLKI, Tulus Abadi menuturkan, persoalan tarif memang hal paling sensitif untuk ojek online (ojol). Ini lantaran tarif 100 persen ditentukan oleh aplikator, sebagai pengelola dan penyedia aplikasi ojek online. Pemerintah tidak dan belum intervensi sama sekali, baik masalah tariff dan operasional ojek online.

Akan tetapi, Tulus mengatakan, dengan masifnya ojek online, mau tidak mau pemerintah sebagai regulator harus ikut intervensi dalam segala hal.

"Bisnis proses ojek online memang unik, di satu sisi driver sebagai pemilik alat produksi (sepeda motor), namun di sisi lain perusahaan aplikatorlah yang menentukan segalanya, termasuk dalam hal tarif,” demikian seperti dikutip dari tulisannya, Sabtu (23/3/2019).

Ia menuturkan, driver sebagai garda terdepan tidak pernah diajak bicara untuk menentukan berapa biaya operasional yang sebenarnya. Demikian juga tidak pernah melibatkan keterwakilan konsumen terutama dalam menentukan standar pelayanan yang ditetapkan.

"Jika hal ini dibiarkan, dalam arti tidak ada keterlibatan pemerintah, memang potensi terjadi pelanggaran, baik pelanggaran kepada hak driver dan atau pelanggaran terhadap hak konsumen," kata dia.

Ia menuturkan, jika terkait tarif untuk komoditas publik, parameter yang ideal tentu memperhatikan dua hal. Antara lain memperhatikan kepentingan konsumen sebagai pengguna, dan operator sebagai penyedia jasa.

Tulus menilai, ada dua aspek yang perlu diperhatikan untuk perspektif pengguna. Pertama, aspek ability to pay atau aspek keterjangkauan dan kemampuan membayar konsumen. Ditambah aspek willingness to pay atau aspek pelayanan.

"Kedua aspek ini sejatinya berkelindan, tak bisa dipisahkan. Selain itu, tarif juga harus memperhatikan kepentingan operator, jangan sampai tarif terlalu tinggi dan atau terlalu rendah, sehingga keberlanjutan operator bisa terjaga. Tarif yang terlalu tinggi akan melanggar hak konsumen, tetapi tarif terlalu rendah akan mematikan pelaku usaha," ujar dia.

Oleh karena itu, desakan driver ojol untuk meminta kenaikan tarif batas atas, secara rasional dan operasional menurut Tulus bisa dimengerti. Namun, desakan driver untuk meminta kenaikan tarif batas atas, Tulus menilai masih berat. Ini karena "dihadang" oleh pihak aplikator.

"Intinya aplikator tidak setuju atas usulan oleh driver untuk minta kenaikan tarif guna menutup biaya operasional. Mereka, driver ojol, meminta kenaikan tarif per km menjadi Rp 3.200, dari semula Rp 1.200 per km. Pihak aplikator tampak keberatan dengan usulan dari driver ini," ujar dia.

"Usulan kenaikan tarif yang terlalu tinggi justru dianggap akan mematikan eksistensi driver ojol, karena permintaan konsumen terhadap ojol akan turun. Bahkan pihak perusahaan aplikator pun melakukan sebuah survei, bahwa kenaikan tarif ojol akan menurunkan 72 persen minat konsumen untuk naik ojek online," ia menambahkan.

Lebih lanjut, Ia menambahkan, tuntutan kenaikan tarif ini bisa disikapi dari berbagai aspek. Jika dari aspek pengguna, tuntutan driver untuk kenaikan tarif batas atas adalah terlalu tinggi. Mereka mengusulkan kenaikan hingga Rp 3.200 per km.

Usulan kenaikan sebesar itu, dengan asumsi, bahan bakar yang digunakan driver adalah terlalu tinggi.

"Jika usulan kenaikan yang dipatok sebesar Rp 3.200, lalu apa bedanya ojol dengan taksi online? Padahal, dengan besaran seperti itu, jika konsumen menggunakan taksi online, akan lebih banyak mendapatkan fasilitas yang jauh lebih baik dan lebih safety daripada sepeda motor. Oleh karena itu, usulan Rp 3200 per km adalah kelewat tinggi. Namun, sikap perusahaan aplikator yang 100 persen menolak usulan driver untuk minta naik tarif, juga sikap yang arogan dan jemawa. Apalagi menurut berbagai analisa, dan juga survei (salah satunya dilakukan oleh INSTRAN), bahwa posisi driver sangat terjepit dan praktiknya cenderung eksploitatif," kata Tulus.

Selanjutnya

PKL dan Ojek Online Bikin Semrawut Stasiun Palmerah
Pedagang kaki lima (PKL) dan ojek online memadati kawasan Stasiun Palmerah, Jakarta, Kamis (6/12). Keadaan ini mengganggu arus lalu lintas dan pejalan kaki. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Tulus menilai, cara yang paling ideal harus diambil jalan tengah. Ini artinya kenaikan rupiah per km layak dilakukan, tetapi angkanya harus rasional.

"Tidak memberatkan konsumen sebagai pengguna ojek onine, tetapi juga tidak terlalu murah, sehingga driver bisa mati kutu karenanya," kata dia.

Tulus menambahkan, untuk memperkuat hal itu, seharusnya Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mempunyai data dan analisa yang akurat. Misalnya, Kemenhub melakukan survei kepada driver, dan juga kepada penggunanya.

Selama ini survei yang diinisiasi/didominasi oleh perusahaan aplikator, sekalipun survei tersebut dilakukan oleh universitas ternama, dan atau lembaga riset manapun.

Tulus mengatakan, Kemenhub harus mengambil alih untuk melakukan survei serupa, demi menemukan formulasi yang pas dan win win solution, tidak memberatkan pengguna, dan tidak mengeksploitasi hak driver.

"Dalam bayangan keawaman, persentase tertinggi untuk kenaikan tarif ojol adalah 30-40 persen dari tarif sekarang. Ini pun harus di back up oleh survei Kemenhub, bukan survei oleh aplikator dan atau lembaga pesanan aplikator. Pun usulan kenaikan itu bukan atas usulan feeling driver saja," kata dia.

Tulus menilai, angka persentase kenaikan sebesar Rp 3.200 per km adalah terlalu tinggi, dan itu berasal dari versi driver ojek online. Driver ojek online memasukkan BBM jenis pertamaks dalam komponen tarifnya. Dari sisi energi dan lingkungan, adalah hal bagus jika ojek online menggunakan pertamaks untuk operasinya. Akan tetapi, ia mengingatkan pihak yang mengontrol hal tersebut.

"Jangan sampai driver memasukkan komponen pertamaks dalam tarifnya tetapi di lapangan mereka menggunakan bensin jenis premium untuk sepeda motornya. Padahal dampak terhadap tarif, antara pertamaks dengan premium, sangatlah mencolok. Siapa yang bisa mengawasi jika driver konsisten menggunakan BBM pertamaks, dan apa sanksinya jika tidak konsisten?," kata Tulus.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya