Peneliti: Utang Era SBY Tumbuh 14 Persen, Jokowi 7 Persen

Peneliti CORE, Yusuf Rendy Manilet menilai, utang Indonesia masih relatif aman dengan kisaran 30 persen terhadap PDB.

oleh Liputan6.com diperbarui 09 Apr 2019, 18:40 WIB
Diterbitkan 09 Apr 2019, 18:40 WIB
IHSG Berakhir Bertahan di Zona Hijau
Petugas menata tumpukan uang kertas di ruang penyimpanan uang "cash center" BNI, Jakarta, Kamis (6/7). Tren negatif mata uang Garuda berbanding terbalik dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mulai bangkit ke zona hijau (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Peneliti di Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet mengatakan, pemimpin Indonesia dalam lima tahun mendatang harus melakukan dua hal agar ekonomi Indonesia membaik.

Pertama, dari asumsi makro dan kedua mengenai pengendalian pertumbuhan utang.  Utang, kata Yusuf, masih sesuatu yang harus dikendalikan walaupun kondisi utang Indonesia masih relatif aman.

Menurut dia, utang pada pemerintah Jokowi hanya tumbuh sebesar 7 persen berbeda dengan 2004 hingga 2014 yaitu saat kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) utang tumbuh 14 persen. 

"Mengenai utang, setiap tahun pertumbuhan utang rata-rata 7 persen. Ini lebih rendah dari 2004 hingga 2014 yang mencapai 14 persen," ujar Yusuf saat memberi paparan jumpa pers di Hongkong Cafe, Jakarta, Selasa (9/4/2019).

Yusuf mengatakan, meskipun ada pertumbuhan utang yang berbeda, hingga kini utang Indonesia relatif aman karena masih dalam batas sekitar 30 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB). Angka ini tentu lebih rendah jika dibandingkan dengan Jepang sebesar 120 persen. 

"Ketika bicara utang, narasi adalah utang relatif aman. Saya setuju karena utang berada di kisaran 30 persen dari PDB, bandingkan dengan Jepang, mereka sekitar 120 persen," ujar dia.

 

Reporter: Anggun P.Situmorang

Sumber: Merdeka.com

Selanjutnya

IHSG Berakhir Bertahan di Zona Hijau
Petugas menata tumpukan uang kertas di Cash Center Bank BNI di Jakarta, Kamis (6/7). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) pada sesi I perdagangan hari ini masih tumbang di kisaran level Rp13.380/USD. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Namun demikian, perbedaan Indonesia dan Jepang adalah negara itu memiliki porsi komposisi utang dalam negeri yang lebih besar. Sementara Indonesia memiliki porsi utang luar negeri lebih besar yang menyebabkan rentan terhadap guncangan global. 

"Perlu jadi catatan adalah komposisi utang. Jepang, utang di dalam negeri lebih banyak sehingga perputaran uangnya juga di dalam negeri. Artinya, ketika terjadi gonjang ganjing ekonomi global ini, akan berpengaruh pada SUN. Indonesia sangat rentan jikalau terjadi gonjang ganjing global karena akan terjadi capital outflow," kata Yusuf. 

Dari asumsi ekonomi makro, pemimpin ke depan harus menyusun target yang tepat sasaran. Hal ini diperlukan agar kebijakan yang akan diterbitkan sesuai dengan perkembangan ekonomi baik dalam negeri maupun luar negeri.

"Tentang asumsi makro yang ditetapkan pada kebijakan fiskal. Asumsi makro pertumbuhan ekonomi 4 tahun terakhir selalu meleset. Ini penting untuk mengeluarkan kebijakan pengeluaran dan belanja negara. Cuma pada 2017 asumsi sesuai dengan realisasi," tandasnya. 

 

Menko Luhut Kembali Tekankan Utang Pemerintah Buat Kegiatan Produktif

Deklarasi Said Aqil Siroj Institute
Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan memberikan sambutan pada acara Deklarasi Said Aqil Siroj (SAS) Institute di Jakarta, Rabu,(1/8). SAS Institute sebuah organisasi simbol perjuangan gagasan Islam Nusantara. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan turut berbicara mengenai kenaikan posisi utang pemerintah Indonesia. Mantan Kepala Staf Kepresidenan ini menegaskan bahwa utang pemerintah Indonesia tersebut merupakan utang yang digunakan untuk menjalankan program-program yang produktif.

"Indonesia ini utangnya produktif," kata dia, dalam acara Rakernas, di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Kamis 21 Februari 2019.

Penggunaan utang pemerintah untuk program-program produktif, kata Luhut, seperti pembangunan infrastruktur yang tentu akan memberikan dampak positif bagi masyarakat.

"Seperti proyek pembangunan light rail transit (LRT) Jabodebek. Maka itu, tidak ada satu pun utang kita tidak produktif," tegas dia.

Diketahui, Kementerian Keuangan mencatatkan posisi utang pemerintah pada Januari 2019 sebesar Rp 4.498,65 triliun. Angka ini setara 30,10 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), namun masih di dalam batas yang ditetapkan yakni 60 persen dari PDB.

Posisi utang di awal tahun ini meningkat sekitar Rp 80 triliun dari posisi di Desember 2018 yang sebesar Rp 4.418,30 triliun. Juga meningkat dibanding posisi Januari 2018 yang sebesar Rp 3.958,6 triliun.

 

JK: Yang Penting Negara Bisa Bayar Utang

Wapres Jusuf Kalla
Wakil Presiden Republik Indonesia, Muhammad Jusuf Kalla. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla menanggapi pernyataan Calon Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto yang menyindir Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai menteri pencetak utang.

Pria yang akrab disapa JK ini menilai Indonesia memang memiliki utang tetapi hingga saat ini pemerintah bisa membayar.

"Buktinya kan tidak ada utang kita yang jatuh tempo yang tidak kita bayar. Bahwa kemudian kita pinjam lagi itu cara pengelolaan keuangan," kata JK di kantornya, Jalan Merdeka Utara, Selasa 29 Januari 2019.

Dia menjelaskan setiap negara berkembang pasti memiliki utang. Tidak hanya Indonesia, kata JK, Jepang yang merupakan negara maju tetap berutang.

"Defisit-defisit itu selalu ditalangi dengan utang. Tapi bukan jumlahnya yang penting. Yang penting ialah dapat dibayar atau tidak," kata JK.

Dia menjelaskan hal tersebut sudah ada sejak pemerintahan Soekarno. Tetapi hingga saat ini kata JK, Indonesia masih bisa membayar. "Tapi yang paling penting bisa dibayar enggak ini. Bisa bayar, dari pajak. Pajak naik terus," kata JK.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya