Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengatakan, pemerintah tidak akan tinggal diam dengan ada kampanye negatif kelapa sawit Indonesia oleh Eropa.
Untuk tetap memasarkan kelapa sawit, pemerintah akan memperluas pasar di Asia dan Afrika melalui Free Trade Agreement (FTA).
"Memang sedang berjalan (perluasan pasar ekspor lewat Free Trade Agreement). Itu Menteri Perdagangan (tugasnya) saya tahu pembicaraan sudah mulai," ujar Jakarta, Jumat (12/4/2019).
Advertisement
Baca Juga
Darmin membeberkan, negara yang tengah dalam negosiasi seperti Pakistan hingga India. Komunikasi dengan kedua negara tersebut terus dilakukan secara intensif. "Rasanya dengan India itu mestinya sudah, Pakistan juga sudah," tutur dia.
Ada satu negara lain yang sedang tahap pendekatan dengan pemerintah dalam rangka ekspor kelapa sawit yaitu Turki. "Turki sudah dimulai dibicarakan juga. Jadi pembicaraan juga juga sudah jalan," kata Darmin.
Mantan Direktur Jenderal Pajak tersebut menambahkan, pemerintah memang lebih fokus mengembangkan pasar ekspor kelapa sawit menuju negara yang menggunakan minyak sawit sebagai kebutuhan sehari-hari.
"Dan memang kita dahulukan ke negara yang banyak menggunakan palm oil. Setelah Asia Selatan kita masuk ke Afrika," tandasnya.
Reporter: Anggun P.Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
RI Bakal Lapor ke WTO
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia bakal melaporkan Uni Eropa kepada World Trade Organization (WTO) apabila kampanye hitam terhadap kelapa sawit berlaku secara resmi pada Mei 2019.
Hal ini sudah merupakan kesepakatan bersama dengan penghasil kelapa sawit lainnya seperti Malaysia dan Colombia.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengatakan, pemerintah juga akan melakukan review hubungan perdagangan Indonesia dengan negara tersebut.
Saat ini, Indonesia-Eropa tengah dalam perundingan Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA).
"Selain menempuh litigasi di dispute. Secara jalan kita akan review hubungan kita dengan mereka. Mereka tahu kita sedang menempuh perundingan CEPA," ujar dia di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat, 12 April 2019.
Darmin mengatakan, pemerintah juga siap melakukan beberapa review terhadap produk asal Uni Eropa. Meski demikian, dia belum dapat menyampaikan jenis produk tersebut.
"Indonesia-EU tidak perlu dijelaskan detail sekarang. Tapi digambarkan bahwa kita pasti akan ambil langkah begitu delegated act di adapt (sesuaikan) oleh dewan Eropa dua bulan dari sekarang," ujar dia.
Sementara itu, Staf Khusus Menteri Luar Negeri RI Peter Gontha menegaskan sikap Indonesia mantap untuk membawa kasus ini kepada WTO jika kampanye negatif tetap berlaku.
"Keputusan atau kesepakatan kita secara intern kalau sampai RED II Delegated ACT ini diberlakukan pada 12 Mei pukul 00.00, Indonesia akan menempuh jalur litigasi di WTO," paparnya.
Posisi Indonesia saat ini, menurut dia, sudah sangat jelas. Petani kelapa sawit Indonesia akan terkena dampak kebijakan itu lebih besar dari penduduk Belanda sekitar 17 juta jiwa dan Belgia sekitar 11 juta. Sebab ada 19,5 juta petani sawit yang akan kena dampak jika sawit didiskriminasi.
"Pertarungan itu terjadi di Brussels dan terus terang saja kita tidak ingin lagi diatur. Kedaulatan kita harga mati, neoimperialisme, dan kolonialisme sampai terjadi lagi," tandasnya.
Advertisement
Eropa Bakal Berlakukan Aturan Sawit Mulai Mei
Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengatakan, kampanye negatif kelapa sawit Indonesia oleh Eropa akan diputuskan Mei 2019 oleh parlemen Eropa.
Nantinya, keputusan tersebut akan berlaku secara otomatis walaupun tidak dibahas dan disetujui oleh seluruh parlemen Eropa.
"Regulasi tersebut akan berlaku apabila mendapat persetujuan dari Parlemen Eropa dan Dewan Eropa dalam jangka waktu maksimum 2 bulan sejak konsep regulasi tersebut disampaikan oleh Komisi Eropa pada 13 Maret 2019," ujar Darmin di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat, 12 April 2019.
"Walaupun tidak mendapatkan persetujuan dan dibahas secara langsung, regulasi tersebut juga akan belaku secara otomatis setelah 2 bulan dari konsep regulasi tersebut diserahkan oleh Komisi Eropa atau Silent Procedure," ia menambahkan.
Kemungkinan besar prosedur yang telah disampaikan pada Maret lalu yang akan digunakan. Sebab hingga saat ini, kata Darmin, pembahasan regulasi tersebut belum dijadwalkan oleh Parlemen maupun Dewan Eropa.
Usai diberlakukan secara otomatis, selanjutnya, pada 2021 akan terbuka kesempatan untuk dilakukan review terhadap regulasi ini, termasuk metodologi maupun kriteria-kriteria dalam penetapan high-risk dan low-risk ILUC.
Kebijakan diskriminatif yang dilakukan oleh Komisi Eropa melalui penerbitan Delegated Regulation merupakan turunan dari Renewable Energy Directive II (RED II) yang menempatkan kelapa sawit sebagai komoditas berisiko tinggi terhadap perusakan hutan (deforestasi) / indirect land-use change (ILUC).
"Metodologi dan hipotesa yang digunakan UE tentang risiko dan pengaruh buruk kelapa sawit terhadap perusakan hutan tersebut ditetapkan secara sepihak, bertentangan dengan fakta yang ada, dan tanpa dilakukan impact analysis," tandas Darmin.