Liputan6.com, Jakarta Isu kondisi ekonomi Indonesia kembali menjadi bahan perdebatan para calon presiden yang rencananya berlangsung pada hari ini.
Calon Presiden (Capres) nomor 02 Prabowo Subianto sempat menyatakan ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional sampai double digit bila kelak terpilih. Sementara sang calon wakil presiden (cawapres) Sandiaga Uno memproyeksikan bakal membuat ekonomi Indonesia tumbuh 6,5 persen dalam waktu 2 tahun.
Sebagai perbandingan, Pemerintah di bawah kabinet Jokowi-Jusuf Kalla memproyeksikan pertumbuhan ekonomi negara tahun ini hanya mencapai 5,3 persen, melalui RAPBN 2019.
Advertisement
Lantas, berapa perhitungan ideal yang sesuai dengan kondisi terkini perekonomian Indonesia?
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira berpendapat, pemerintah perlu membuka ruang lebih banyak kepada pelaku usaha swasta sehingga bantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi bangsa.
"Contohnya misalkan, BUMN nggak apa-apa bangun proyek infrastruktur. Tapi untuk mendorong multiplier effect lebih besar, BUMN didorong dan diwajibkan untuk lebih banyak lagi bekerjasama dengan pelaku swasta. Sehingga perekonomian yang tumbuh tadi bisa diciptakan dari kerjasama BUMN dan pelaku usaha," ujar dia kepada Liputan6.com, Sabtu (13/4/2019).
Sebab, dia mengatakan, proyek infrastruktur negara selama ini cenderung didominasi BUMN. "Kalau ada perubahan dari skenario itu, mungkin ekonomi bisa lebih tumbuh," sambungnya.
Meski upaya tersebut telah dilakukan, Bhima tetap menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia belum akan mampu melampaui angka 10 persen dalam 10 tahun ke depan.
"Saya prediksi, dalam 10 tahun ke depan maksimum sekali kita bisa tumbuh sampai 5,5 persen. Itu juga sudah dengan extraordinary effort dari seluruh stakeholder," ujar dia.
Â
Capres Harus Paparkan Strategi Tumbuhkan Ekonomi RI di Atas 6 Persen
Dalam debat pamungkas yang berlangsung pada Sabtu (13/4/2019) ini, kedua calon presiden (capres) diminta memaparkan strategi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.Â
Adapun rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam dua dasawarsa ini sebesar 5,27 persen per tahun.
Realisasi laju pertumbuhan ekonomi selama era reformasi ini dinilai belum mampu menyamai capaian era Orde Baru.
"Jika pertumbuhan lima persenan yang sudah terjadi dalam 6 tahun ini tidak segera diakselerasi, maka akan sulit bagi Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah sehingga Indonesia bisa menjadi negara maju," kata Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bima Yudhistira kepada Liputan6.com, Sabtu (13/4/2019).
Di sisi lain, mengingat perekonomian Indonesia dinilai Bima cepat panas atau overheating, maka target-target akselerasi pertumbuhan ekonomi harus tetap mempertimbangkan aspek stabilitas.
Selain masalah kuantitas pertumbuhan ekonomi, dari sisi kualitas juga perlu diperbaiki. Dukungan anggaran negara meningkat, kebijakan stimulus perekonomian tidak kekurangan, posisi sebagai negara layak investasi diperoleh.
Namun sayang, semua itu dinilai belum cukup untuk menjawab tantangan peningkatan angkatan kerja, menurunkan kemiskinan secara lebih signifikan, serta mengurangi ketimpangan.
Di sisi lain, Bima berpendapat, pemerataan pembangunan ekonomi dinilai selama ini belum efektif. Hal ini tercermin dari bergemingnya pulau Jawa terhadap pembentukan PDB (Produk Domestik Bruto).
Lima tahun lalu (2014) porsi Jawa sudah mencapai 57,4 persen, saat ini (2018) porsi Pulau Jawa justru naik menjadi 58,48 persen dalam pembentukan PDB nasional. "Ini menggambarkan bahwa pembangunan masih Jawa sentris," pungkas Bima.Â
Advertisement
Target Pertumbuhan Ekonomi Double Digit, Realistiskah?
Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto dalam pidato kebangsaannya di Surabaya, Jawa Timur menyatakan ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional sampai double digit bila terpilih menjadi orang nomor satu di Indonesia.
"Mereka mungkin puas dengan pertumbuhan 5 persen. Kita tidak puas. Kita mau pertumbuhan double digit," serunya. Pernyataan ini melampaui proyeksi pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan sang Cawapres, Sandiaga Uno, yakni 6,5 persen.
Sebagai perbandingan, APBN 2019 memproyeksikan pertumbuhan ekonomi negara pada 2019 hanya mencapai 5,3 persen. Lantas, realistiskah pertumbuhan double digit tersebut?
Baca Juga
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira menyebutkan, target itu terkesan sulit ditakar bila tak diikuti strategi yang tepat untuk bisa mencapainya.
"Kalau misalkan 6,5 persen saja mimpi di siang bolong, apalagi double digit? Menurut saya bukan set target pertumbuhan yang tinggi, tapi adalah langkah konkrit dan terukur," imbuh dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Sabtu (13/4/2019).
Bhima kemudian membandingkan pertumbuhan ekonomi negara berkembang lain, yang secara angka tertinggi pun hanya berada pada kisaran 6-6,5 persen.
"Negara berkembang yang paling tinggi pertumbuhan ekonominya itu antara Tiongkok atau india, dia 6-6,5 persen," tutur dia.
Tonton Video Ini:Â