Harga Minyak Melambung Usai Sentuh Level Terendah Satu Bulan

Harga minyak bangkit dari level terendah satu bulan dipicu meningkatnya ketegangan AS dan Iran.

oleh Nurseffi Dwi Wahyuni diperbarui 07 Mei 2019, 06:15 WIB
Diterbitkan 07 Mei 2019, 06:15 WIB
Ilustrasi tambang migas
Ilustrasi tambang migas (iStockPhoto)
 
Liputan6.com, New York - Harga minyak naik tipis pada perdagangan Senin (Selasa pagi WIB) dipicu meningkatnya ketegangan Amerika Serikat (AS) dan Iran. Sebelumnya, harga minyak berada di level terendah satu bulan setelah menyusul ancaman Presiden AS Donald Trump yang akan menaikkan tarif barang impor asak China.
 
Dilansir dari Reuters, Selasa (7/5/2019), harga minyak mentah berjangka Brent naik USD 39 sen menjadi USD 71,24 per barel. Harga minyak yang jadi acuan global sebelumnya merosot ke USD 68,79 per barel, terendah sejak 2 April.
 
Harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS naik USD 31 sen menjadi USD 62,25 per barel. Sesi terendah WTI adalah USD 60,04 per barel, terlemah sejak 29 Maret.
 
Pembelian tambahan dipicu setelah WTI menembus USD 62 per barel di perdagangan sore, kata Bob Yawger, direktur energi berjangka di Mizuho di New York.
 
 
AS mengerahkan kelompok penyerang pembawa dan satuan tugas pengebom ke Timur Tengah, bertujuan mengirim pesan yang jelas kepada Iran bahwa setiap serangan terhadap kepentingan AS atau sekutunya akan berhadapan dengan kekuatan tak henti-hentinya," ungkap Penasehat Keamanan Nasional AS John Bolton.
 
AS akan menghentikan keringanan bagi negara-negara yang membeli minyak Iran, dalam upaya untuk mengurangi ekspor minyak Iran menjadi nol. Washington juga telah memasukkan pasukan Korps Pengawal Revolusi Iran ke dalam daftar teroris.
  
"Anda melihat meningkatnya ketegangan geopolitik," kata Phil Flynn,  analis di Price Futures Group di Chicago.
 
Harga minyak turun lebih awal setelah Trump mengatakan di Twitter pada hari Minggu bahwa tarif impor barang asal China senilai USD 200 miliar akan meningkat pada hari Jumat menjadi 25 persen, membalikkan keputusan Februari untuk mempertahankannya pada 10 persen karena kemajuan dalam pembicaraan perdagangan.
 
Trump awal pada hari Senin tampaknya membela pernyataan hari Minggu, mengutip defisit perdagangan antara Amerika Serikat dan China. "Maaf, kami tidak akan melakukan itu lagi!" Dia tweeted.
 
Komentar tersebut mengkhawatirkan para investor tentang kemajuan pembicaraan perdagangan antara dua ekonomi terbesar di dunia dan memicu kekhawatiran bahwa ketegangan yang sedang berlangsung dapat mengganggu permintaan minyak global.
 
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang mengatakan kepada sebuah konferensi pers pada hari Senin bahwa delegasi Tiongkok masih bersiap untuk pergi ke Amerika Serikat untuk pembicaraan perdagangan.
 
"Kami juga sedang dalam proses memahami situasi yang relevan," katanya.
  
Dalam industri minyak, ada tanda-tanda kenaikan lebih lanjut dalam produksi dari Amerika Serikat, di mana produksi minyak mentah telah melonjak lebih dari 2 juta barel per hari (bph) sejak awal 2018 ke rekor 12,3 juta bph. Amerika Serikat sekarang adalah produsen minyak terbesar di dunia, kalahkan Rusia dan Arab Saudi.

Harga Minyak Menguat Imbas Data Ekonomi AS Positif

lustrasi tambang migas
Ilustrasi tambang migas (iStockPhoto)

Harga minyak naik tipis menyambut akhir pekan ini seiring data ekonomi Amerika Serikat (AS) yang kuat.

Hal tersebut mendorong sentimen permintaan dan kerugian produksi akibat sanksi yang dilanda Iran dan Venezuela sehingga memperketat pasar.

Akan tetapi, harga minyak cenderung melemah selama sepekan. Hal itu dipicu lonjakan persediaan minyak mentah AS.

Harga minyak Brent ditutup ke posisi USD 70,85 per barel, naik 10 sen. Selama sepekan, harga minyak acuan ini merosot 2,6 persen.

Harga minyak berjangka West Texas Intermediate (WTI) ditutup naik 13 sen ke posisi USD 61,94 per barel. Selama sepekan, harga minyak WTI susut tiga persen, dan alami penurunan mingguan berturut-turut.

Laporan pekerjaan AS menunjukkan pertumbuhan yang melonjak pada April 2019. Kemudian tingkat pengangguran turun ke level terendah lebih dari 49 tahun di kisaran 3,6 persen. Ini meningkatkan harapan kalau permintaan minyak mentah akan tetap kuat.

"Jika lebih banyak orang akan bekerja, mereka harus mengemudi dan mengambil transportasi untuk sampai ke sana. Ini indikasi bagus yang bisa kita harapkan untuk melihat permintaan bensin, minyak meningkat hingga musim panas," ujar Phil Streiblle, Analis RJO Futures, seperti dikutip dari laman Reuters, Sabtu (4/5/2019).

Ia menuturkan, bursa saham AS menguat dan dolar AS melemah mendukung harga minyak berjangka. Harga minyak cenderung mengikuti pergerakan wall street atau bursa saham AS.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya