Petani Sebut Pungutan Ekspor CPO Hanya Untungkan Produsen Biodiesel

Sebenarnya para petani mengapresiasi inisiatif pemerintah yang membentuk Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP KS).

oleh Septian Deny diperbarui 28 Jun 2019, 17:00 WIB
Diterbitkan 28 Jun 2019, 17:00 WIB
20151014- Ilustrasi Kelapa Sawit
Ilustrasi Kelapa Sawit

Liputan6.com, Jakarta - Petani kelapa sawit menilai pungutan ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) yang selama ini diberlakukan hanya untuk kepentingan industri biodiesel. Pasalnya, hampir 99 persen dari dana tersebut diperuntukkan untuk insentif program campuran solar dengan CPO yang saat ini sebesar 20 persen (B20).

Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto menyatakan, sebenarnya para petani mengapresiasi inisiatif pemerintah yang membentuk Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP KS) pada 2015. Badan salah satunya bertugas untuk mengumpulkan dana pungutan ekspor CPO.

"Namun hingga saat ini tidak memberikan rasa manfaat bagi kurang lebih lebih 12 juta keluarga petani kelapa sawit," ujar dia di Jakarta, Jumat (28/6/2019).

Dia menyatakan, begitu juga dengan dana pungutan ekspor CPO yang dirasa sangat minim memberikan manfaat bagi para petani kepala sawit. Dana tersebut justru lebih banyak digunakan untuk kepentingan industri biodiesel dalam rangka mendukung program B20.

Dari total dana pungutan yang terkumpul sebanyak Rp 43 triliun sejak 2015, dialokasikan untuk insentif yang diterima oleh produsen biodiesel sekitar Rp 38,7 triliun dalam periode 2015-2019 atau rata-rata insentif mencapai Rp 7-8 triliun per tahun.

Sementara yang disalurkan untuk bantuan petani melalui dana replanting hanya sekitar Rp 702 miliar sampai dengan tahun 2018 atau sekitar 1,6 persen.

"Karena itu, dapat dikatakan pengunaan dana sawit selama ini alokasinya salah kaprah karena hanya untuk kepentingan industri biodiesel. Alasan industri untuk pasar baru dan stabilisasi harga hanya akal-akalan saja," tandas dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Investor Jepang Ajak RI Ubah Limbah Sawit Jadi Uang

Ilustrasi Perkebunan Sawit
Ilustrasi Perkebunan Sawit (iStockphoto)​

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution menjadi salah satu pembicara dalam acara Biobased (Circular) Economy Investment Forum 2019. Dalam kesempatan tersebut, investor Jepang menawarkan kerja sama pengolahan limbah sawit menjadi produk yang dapat mendatangkan keuntungan bagi Indonesia.

"Iya (tertarik) dong, kita urusin sesuatu yang akan, bagaimana caranya, membuat sampah jadi uang kan. Bagaimana masa kita tidak coba. Kalau soal apa jangan takut kita coba ya," ujarnya di Hotel Borobudur, Jakarta, Jumat (24/5/2019).

Darmin mengatakan, saat ini berkembang paradigma baru tentang Industri Kelapa Sawit yang disebut Palm 5.0. Dengan metode pengolahan POME (Palm Oil Mill Effluent) atau Limbah Pabrik Kelapa Sawit, para ahli meyakini cara ini dapat mengurangi polusi gas metana yang memiliki bobot 27 kali setara dengan CO2. 

"Kerangka Kerja Palm 5.0, yang menerapkan Teknologi Novel Algae, dapat memperoleh pengembalian finansial dan lingkungan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bisnis perkebunan dasar," jelasnya.

Selain itu, limbah POME yang berbahaya dan diperkirakan akan mencapai 130 juta ton pada tahun 2030 dapat digunakan sebagai bahan baku untuk menghasilkan DHA yang berkualitas dan harga tinggi, seperti Omega 3.

Sebagai negara penghasil Minyak Kelapa Sawit, dengan Teknologi Novel Algae ini Indonesia dapat diuntungkan. Pertama menjadi investasi yang baik, kedua ekspor meningkat, ketiga penyelesaian masalah limbah serta peningkatan skala perekonomian di daerah pengembangan Palm 5.0.

Dalam pengolahan limbah kelapa sawit, Universitas Tsukuba, yang merupakan salah satu Universitas terkemuka di Jepang kini dikembangkan menjadi pusat penelitian teknologi Alga di dunia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya