Pengusaha: Masyarakat Jangan Terus Beli Kantong Plastik

Masyarakat diimbau jangan membeli plastik tetapi membawa tas belanja sendiri.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 11 Jul 2019, 17:40 WIB
Diterbitkan 11 Jul 2019, 17:40 WIB
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mandey.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mandey. Dok: Tommy Kurnia/Liputan6.com

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mandey meminta masyarakat sebagai konsumen tidak lagi membeli plastik seharga Rp 200 selama berbelanja. Masyarakat diajak membawa tas belanja sendiri agar lebih hemat serta berperan mengurangi sampah plastik.

"Itu kan sudah sesuai semangat kami: Melakukan edukasi kepada masyarakat dengan menjual kantong plastik Rp 200 supaya masyarakat jangan beli. Bawa tas belanja sendiri atau beli tas belanja yang bisa dipakai berulang-ulang yang semua anggota Aprindo sediakan di kasir," ujar Roy di sela jumpa pers Indonesia Great Sale pada Kamis (11/7/2019) di Jakarta.

Hal ini mengingat aturan cukai plastik dari pemerintah. Demi mengurangi sampah plastik sekali pakai, pemerintah melalui Kementerian Keuangan menggagas cukai plastik hingga Rp 30 ribu per kilogram. Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti pun mendukung agar penggunaan plastik dikurangi.

Roy berkata pihak Aprindo menegaskan mendukung kebijakan cukai plastik tersebut. Diharapkan agar konsumen memilih membawa tas sendiri ketimbang membeli plastik.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) DPD DKI Jakarta, Ellen Hidayat, berharap agar pedagang yang menjual barang-barang segar juga diperhatikan. Ini mengingat banyak pedagang yang masih mengandalkan plastik untuk membawa produk tertentu.

Saat ini, plastik menjadi sorotan karena berbahaya bagi lingkungan. Di Jepang, rusa-rusa di prefektur Nara mati karena menelan plastik, sementara seekor paus mati mengenaskan di Wakatobi dengan kondisi perut penuh sampah plastik.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Ada Penolakan

Liputan 6 default 4
Ilustraasi foto Liputan 6

Para pelaku industri produsen dan pengguna plastik yang tergabung dalam Forum Lintas Asosiasi Industri Produsen dan Pengguna Plastik (FLAIPPP) menolak peraturan pemerintah, baik pusat maupun daerah terkait pelarangan penggunaan plastik kemasan.

Para pelaku industri tersebut menilai hal itu tidak sesuai dengan Peraturan Perundangan Persampahan, selain juga tidak tepat sasaran karena akan merugikan masyarakat (konsumen). Tidak hanya itu, pelarangan itu juga bisa menurunkan pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan penerimaan negara.

Perwakilan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Rachmat Hidayat mengatakan plastik kemasan produk industri seperti makanan, minuman, farmasi, minyak, kimia, dan sebagainya tidak dapat dipisahkan dari produk yang dikemas di dalamnya.

“Jadi melarang peredaran plastik kemasan produk berarti melarang peredaran produk yang dikemas dalam plastik kemasan tersebut,” katanya dalam acara Focus Gorup Discussion (FGD) bertema Pengembangan Industri Plastik Dengan Berorientasi Pada Lingkungan di Ruang Rajawali Gedung Kementerian Perindustrian, Jakarta, Selasa, 9 Juli 2019.

Padahal, menurut Rachmat, produk-produk tersebut sudah dikendalikan dan diawasi oleh kementerian/lembaga yang terkait sesuai dengan sektornya masing-masing. Contohnya produk makanan dan minuman serta farmasi berada dibawah pengawasan BPOM dan Kementerian Kesehatan. Sedangkan produk pestisida berada di bawah pengawasan Kementerian Pertanian serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), ITB, dan Solid Waste Indonesia (SWI) terhadap laju daur ulang sampah plastik, Indonesia sudah melakukan 62 persen daur ulang botol plastik. Angka tersebut bahkan terbilang tinggi jika dibandingkan dengan negara besar seperti Amerika yang hanya 29 persen, dan rata-rata Eropa 48 persen.

Jika pelarangan terhadap plastik kemasan ini terus berlanjut, hal itu akan sangat berdampak terhadap perekonomian Indonesia. Karena, mau tidak mau, itu akan sangat berdampak terhadap industri yang banyak menggunakan wadah dari plastik.

Salah satunya adalah industri makanan dan minuman (mamin) yang memberikan kontribusi yang tinggi terhadap PDB Non Migas Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilainya mencapai 19,86 persen atau Rp 1.875.772 miliar pada 2018 dan tumbuh sebesar 7,91 persen pada akhir 2018.

Sri Mulyani Usul Tarif Cukai Plastik Rp 30 Ribu per Kg

Rapat Kerja
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kanan) bersama Gubernur BI Perry Warjiyo mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/6/2019). Raker tersebut membahas mengenai asumsi dasar makro dalam RAPBN 2020. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) membahas kebijakan penerapan cukai plastik bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.

Dalam kesempatan tersebut, Menteri Keuangan, Sri Mulyani memaparkan, simulasi besaran tarif cukai plastik. Adapun kebijakan pengenaan cukai dinilai menjadi cara paling efektif dalam mengendalikan konsumsi plastik.

"Kami usulkan tarif cukai Rp 200 perak atau Rp 30 ribu per kilo gram (Kg) dengan asumsi 150 lembar (dalam 1 kg plastik)," kata Sri Mulyani, di Ruang Rapat Komisi XI DPR RI, Jakarta, Selasa, 2 Juli 2019.

Dia menuturkan, berdasarkan simulasi, setelah dikenakan cukai plastik yang harus dibayar oleh konsumen berkisar antara Rp 400-Rp 500.  Saat ini, plastik berbayar tarifnya adalah Rp 200.

"Kalau di-charge Rp 200 per lembar ini sama dengan setelah cukai yang tadinya Rp 200 ke Rp  450 - Rp 500," ujar dia.

Dia menambahkan, besaran pengenaan tarif cukai plastik tersebut tidak akan mengakibatkan inflasi sebab sumbangsihnya sangat kecil terhadap total inflasi secara keseluruhan.

"Kalau ini diterapkan, inflasi hanya 0,045 persen," tambahnya.

Dia menegaskan, kebijakan tersebut harus segera diterapkan sebab penggunaan atau konsumsi plastik di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan.

"Konsumsi ini urutan kedua tertinggi penghasil sampah plastik terbesar dunia. Data KLHK 9,95 miliar lembar sampah dihasilkan setiap tahun, ini 90 ribu gerai ritel modern di seluruh Indonesia," ujarnya.

Dia melanjutkan, cukai plastik dapat mengendalikan eksternalitas negatif.  Hal ini diatur dalam pasal 2 ayat 1 UU Cukai 2007 Nomor 39 yang menjelaskan cukai dikenakan dan dikendalikan, serta peredarannya diawasi.

"Mekanisme cukai ini tepat, ini sukses menekan konsumsi plastik ini, sejalan dengan peraturan lain yang dilakukan untuk mengatur keseluruhan ekonomi, cukai melakukan fungsi yang lebih efektif," ujar dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya