Liputan6.com, Jakarta - Aplikasi pinjaman online kembali menjadi kontroversi karena seorang warganet menemukan contoh aplikasi yang mengambil data pengguna. Seluruh data seperti nomor telepon, foto pribadi, histori ojek online dan plat nomornya.
Hal itu memungkinkan apabila pengguna memberikan izin sebuah aplikasi untuk mengakses data-data tersebut sebelum di-download. Yang disayangkan adalah jika pengguna justru tidak sadar memberikan izin.
Advertisement
Baca Juga
Tasa Nugraza Barley, Director Marcomm & Community Development Asosiasi FinTech Indonesia (Aftech), menyebut kasus tersebut menjadi pelajaran bersama bagi para konsumen. Ada dua fator yang menurutnya penting diperhatikan pengguna sebelum melakukan pinjaman online yaitu legalitas dan membaca syarat.
"Pertama yang harus kita lihat adalah perusahaan fintech itu terdaftar di OJK atau enggak. Kedua, setelah diyakinkan legal, pengguna juga harus benar-benar berhati-hati dalam memberikan akses terhadap data dia dan sebagainya, jadi harus dibaca tuntas syarat dan ketentuan yang berlaku seperti apa," ujar Barley pada Liputan6.com, Minggu (28/7/2019).
Barley menebut pengguna yang memilih melakukan pinjaman online memang cenderung ingin buru-buru mendapatkan uang, tetapi mereka diminta untuk tetap membaca aturan jika tak ingin data-data di smartphone mereka diambil.
Bagi anggota yang menawarkan pinjaman online di Aftech, Barley menyebut mereka semua harus mengikuti code of conduct yang berlaku, termasuk mengikuti semua aturan OJK. Dalam aturan OJK, ada pelarangan aplikasi untuk mengambil data tertentu seperti galeri foto, buku telepon, dan data personal pengguna.
Tetapi, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) kerap mendapat laporan soal aplikasi pinjaman online yang mengambil data konsumen. Data itu kemudian dipakai untuk mengirim tagihan ke rekan kerja atau teman SD mereka.
Berikut laporannya:
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Rentenir Pinjaman Online Cenderung Semena-mena
Maraknya platform pinjaman online berbasis aplikasi, dapat mempermudah masyarakat untuk meminjam melalui kecanggihan teknologi.
Kendati demikian, menurut laporan masyarakat yang diterima oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, platform pinjaman online atau pinjol ini telah melanggar hukum yang ditetapkan.
Menurut LBH, sampai akhir tahun lalu ada sekitar 283 korban pinjol telah mengadukan berbagai bentuk pelanggaran hukum. Mengutip situs web resmi LBH Jakarta, Rabu, 7 November 2018, kasus pinjol sudah meluas sejak Juni 2018, salah satunya adalah cara penagihan pinjaman online kepada konsumen secara tidak dipatut.Â
Berdasarkan pengaduan tersebut, LBH Jakarta mendapati temuan awal sebagai berikut:
- Penagihan dengan berbagai cara mempermalukan, memaki, mengancam, memfitnah, bahkan dalam bentuk pelecehan seksual;
- Penagihan dilakukan kepada seluruh nomor kontak yang ada di ponsel konsumen/peminjam (ke atasan kerja, mertua, teman SD, dan lain-lain);Bunga pinjaman yang sangat tinggi dan tidak terbatas;
- Pengambilan data pribadi (kontak, sms, panggilan, kartu memori, dan lain-lain) di telepon seluler (ponsel) konsumen/peminjam;
- Penagihan baik belum waktunya dan tanpa kenal waktu;Nomor pengaduan pihak penyelenggara pinjaman online yang tidak selalu tersedia;
- Alamat kantor perusahaan penyelenggara pinjaman online yang tidak jelas;
- Aplikasi pinjaman online yang berganti nama tanpa pemberitahuan kepada konsumen/peminjam selama berhari-hari namun bunga pinjaman selama proses perubahan nama tersebut terus berjalan.
Permasalahan-permasalahan yang merupakan temuan awal tersebut membawa dampak yang tidak ringan. Akibat penagihan ke nomor telepon yang ada di ponsel, peminjam menjadi di-PHK oleh perusahaan tempatnya bekerja, diceraikan oleh suami/istri mereka (karena menagih ke mertua), trauma (karena pengancaman, kata-kata kotor, dan pelecehan seksual).
Akibat bunga yang sangat tinggi misalnya, banyak peminjam yang tidak mampu membayar akhirnya frustasi, mereka kemudian berupaya menjual organ tubuh (ginjal) sampai pada upaya bunuh diri.
Advertisement
YLKI Sebut Regulasi Soal Pinjaman Online Belum Adil
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengungkapkan regulasi kebijakan pinjaman online (fintech) belum mengatur secara adil antara regulator dan pelaku usaha.
Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi menuturkan, masyarakat perlu meningkatkan kesadaran akan keberadaan fintech ilegal yang masih marak beredar.
"Waspada pinjaman online. Ini harus dilakukan melihat lemahnya pengawasan regulator. Terkesan ada pembiaran. Ada pengaburan antara pinjaman online legal dan ilegal," tuturnya di Jakarta, Selasa, 16 Juli 2019.
Di sisi lain, Tulus juga menyoroti masalah pencurian data pribadi digital yang dimanfaatkan oleh sejumlah pelaku di industri fincteh yang masih tinggi.
"Regulasi kebijakan belum adil, antara regulator belum sinergi kuat untuk penegakan hukum. Rendahnya itikad baik pelaku usaha pinjaman online menjadikan konsumen sebagai sapi perah," ujarnya.
Sementara itu, dia menjelaskan, belum adanya undang-undang yang mengatur persoalan fintech dari pemerintah menyebabkan kasus di sektor ini sulit untuk ditindak tegas.
"Pinjaman online menduduki ranking ketiga yang dikeluhan masyarakat di 2018. Keluhan utama penyedotan data pribadi. Kemudian belum punya undang-undang perlindungan data pribadi," terang dia.