3 Perusahaan Uji Coba Limbah Smelter Buat Bangun Jalan

Limbah yang sudah terakreditasi nantinya dapat digunakan membangun jalan untuk internal perusahaan maupun membantu pemerintah membangun infrastruktur.

oleh Liputan6.com diperbarui 27 Sep 2019, 13:00 WIB
Diterbitkan 27 Sep 2019, 13:00 WIB
(Foto: Liputan6.com/Septian Deny)
Smelter nikel di Konawe, Sulawesi Tenggara (Foto:Liputan6.com/Septian Deny)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution menggelar rapat koordinasi mengenai pemanfaatan limbah smelter (slag). Rapat tersebut dihadiri oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rosa Vivien Ratnawati.

Rosa mengatakan, tiga perusahaan akan mulai melakukan uji coba pemanfaatan slag untuk membangun jalan. Slag nantinya akan diuji terlebih dahulu sebelum dimanfaatkan untuk perusahaan dan pemerintah.

"Vale, IMIP (Indonesia Morowali Industrial Park) yang di Morowali, Pomala Antam. (Nanti dituangkan dalam) Peraturan Menteri LHK untuk tata cara uji karakteristik pengecualian slag nikel," ujarnya di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (27/9/2019).

Rosa melanjutkan, pemerintah akan melakukan serangkaian uji untuk memastikan limbah yang dipakai nantinya tidak beracun, tidak mudah terbakar dan tidak korosif. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan nantinya akan memberi akreditasi jika suatu limbah layak untuk digunakan.

"Dimasukan dalam limbah B3. Tapi dimungkinkan untuk pengecualian. Nah pengecualian ini dia harus test. Satu, laporannya memang harus dijaga betul, terakreditasi dan diberikan standar oleh KLHK, metoda untuk menguji dan sebagainya itu harus sama. Dan dia harus terakreditasi," jelasnya.

Limbah yang sudah terakreditasi nantinya dapat digunakan membangun jalan untuk internal perusahaan maupun membantu pemerintah membangun infrastruktur.

"Ada yang dipakai buat perusahaan itu sendiri, bisa oleh pemerintah. Kalau pemerintah bikin jalan tol, bangunan, itu bisa. Atau perusahana itu sendiri, reklamasi tambang misalnya." tutup dia.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Dua Cara Pengolahan Limbah Baterai Kendaraan Listrik

PHOTO: Dukung Program Pemerintah, Ini Mobil Listrik BMW Ramah Lingkungan
Sumber daya pengisian ulang baterai mobil listrik BMW i8 dengan menggunakan BMW i Wallbox Plus di Tangerang Selatan, Banten, Kamis (26/10). Peringati Hari Listrik Nasional ke-72, BMW perkenalkan mobil elektrik ramah lingkungan. (Liputan6.com/Pool/BMW)

Tak hanya pasar global, industri otomotif Indonesia juga tengah mempersiapkan diri untuk untuk menyambut kendaraan listrik sebagai alat transportasi umum dan pribadi.

Hal itu semakin mencuat kala Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo secara resmi menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) terkait mobil listrik.

 

 

 

Tak hanya dari sisi produk, permasalahan limbah baterai kendaraan listrik juga tengah dipikirkan. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengaku pihaknya akan menerapkan dua proses untuk mengelola komponen ini.

"Jadi proses daur ulang umumnya ada dua yang umum yaitu proses biometallurgy maupun pro hydro metalurgi," kata Jarot Raharjo, Peneliti Pusat Teknologi Material BPPT di Balai Kartini, Jakarta.

Jarot menjelaskan biometallurgy akan menggunakan furnis atau smelter dengan suhu tinggi. Sedangkan pro hydro metalurgi menggunakan bahan kimiawi untuk memisahkan bahan-bahan yang terdapat pada limbah baterai.

"Proses hydro metalurgi menggunakan kimia tertentu yang dimurnikan dan menghasikkan nikel, CO bahkan lithium carbonate, jadi bisa terpisah-pisah. Bahan-bahan itu yang nantinya kita akan bagi menjadi bahan baku baterai," ujar Jarot.

Pengolahan Limbah Baterai di Indonesia

Saat disinggung lebih jauh pengolahan apa yang akan digunakan untuk limbah baterai di Indonesia, Jarot mengaku hydro metalurgi merupakan cara yang saat ini dipikirkan.

"Saat ini yang kita ingin gunakan itu hydro metalurgi sebab biometallurgy ini menggunakan sumber panas yang tinggi. Tapi kedepan kita akan temukan cara lain, karena ini masih lima tahun ke depan. Jadi limbah baterai ini baru lima tahun ke depan. Selama itu kita akan terus mengkaji, karena yang punya otoritas itu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan," tutur Jarot.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya