Liputan6.com, Jakarta - Istilah Non Performing Loan (NPL) dan loan at risk seringkali muncul dalam kajian-kajian perbankan. Banyak yang selama ini mengartikan NPL dan loan at risk dalam konteks yang sama, yaitu kredit bermasalah. Padahal ada yang membedakan antara dua istilah perbankan tersebut.
Pengamat Perbankan Binus University sekaligus Ekonom LPS Doddy Ariefianto menjelaskan mengenai istilah NPL dan loan at risk ini bisa muncul. Saat bank mengucurkan kredit, terdapat klasifikasi status keadaan pembayaran angsuran bunga atau angsuran pokok dan bunga kredit oleh debitur yang disebut kolektabilitas.
Status kolektibilitas dalam dunia perbankan diklasifikasikan oleh bank sentral menjadi 5 status, yaitu kolektibilitas 1 Lancar, kolektibilitas 2 Dalam Perhatian Khusus, kolektibilitas 3 Kurang Lancar, kolektibilitas 4 Diragukan dan kolektibilitas 5 Macet.
Advertisement
Baca Juga
"Kolektibilitas 3 sampai kolektibilitas 5 dikategorikan sebagai kredit bermasalah. Jadi jika ada yang membayar tidak lancar, itu termasuk kredit bermasalah," ujarnya saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (30/1/2020).
Doddy melanjutkan, jika suatu bank mengucurkan kredit senilai Rp 5 triliun, lalu total kredit bermasalahnya Rp 500 miliar, maka presentasinya adalah 10 persen, didapat dari Rp 5 triliun dibagi Rp 500 miliar. Nilai 10 persen ini ialah NPL.
Namun NPL ini masih bernilai gross. Untuk mengantisipasi expected loss (perkiraan kerugian akibat nasabah susah bayar), bank menyiapkan dana cadangan yang nilainya ditentukan sesuai dengan risk appetite atau pengelolaan risiko yang baik, bahkan bisa lebih besar.
"Misalnya kalau dana cadangannya Rp 200 miliar, berarti sisanya Rp 300 miliar, jadi NPL-nya bukan 10 persen, tapi 6 persen," imbuhnya.
Loan at Risk
Sementara, cakupan loan at risk lebih luas dan konservatif. Bisa dikatakan, nilai NPL termasuk ke dalam bagian dari loan at risk. Jika penentuan NPL hanya ditentukan dari kolektibilitas 3 hingga kolektibilitas 5, maka dalam loan at risk, kolektibilitas 1 hasil restrukturisasi, kolektibilitas 2 hingga kolektibilitas 3 juga termasuk ke dalam faktor penentu loan at risk. Restrukturisasi itu adalah pelonggaran term kredit, seperti bunga, jangka waktu dan lainnya.
"Misalnya, ada orang yang pinjam ke bank, dia termasuk kolektibilitas 1 alias lancar dalam bayar pinjaman, tapi karena ada sesuatu dalam bisnisnya, akhirnya kolektabilitasnya turun jadi kolektibilitas 2 atau kolektibilitas 3. Nah, bagi kredit produktif, biasanya ditawarkan restrukturisasi, misalnya diperpanjang jangka waktu peminjamannya dari 5 tahun jadi 10 tahun. Pada beberapa kasus, mereka bisa bayar lancar karena kewajiban terhadap bank turun, maka cashflow terhadap bisnis tersedia lebih besar sehingga prospek bisnisnya jadi lebih baik," jelas Doddy.
Jadi, loan at risk tidak hanya menghitung kredit bermasalah, namun juga kredit dengan kolektibilitas 2 dan kolektibilitas 1 hasil restrukturisasi. Sementara, kredit lancar tidak dikategorikan kemanapun karena tidak memiliki masalah.
Advertisement