Bank Dunia Sebut Subsidi Energi dan Pupuk di Indonesia Salah Sasaran

Rendahnya ruang fiskal pemerintah dianggap menjadi saah satu penyebab subsidi energi dan pupuk tak tepat sasaran

oleh Athika Rahma diperbarui 22 Jun 2020, 12:40 WIB
Diterbitkan 22 Jun 2020, 12:40 WIB
FOTO: Listrik Gratis di Tengah Pandemi Virus Corona COVID-19
Warga memeriksa meteran listrik di kawasan Matraman, Jakarta, Kamis (2/4/2020). Di tengah pandemi COVID-19, pemerintah menggratiskan biaya tarif listrik bagi konsumen 450 Volt Ampere (VA) dan pemberian keringanan tagihan 50 persen kepada konsumen bersubsidi 900 VA. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Bank Dunia menilai bahwa subsidi energi dan pupuk yang dianggarkan pemerintah Indonesia belum tepat sasaran. Hal ini menjadi salah satu penyebab rendahnya ruang fiskal pemerintah.

Ekonom Senior Bank Dunia untuk Indonesia Ralph Van Doorn menyatakan, lebih dari 50 persen subsidi energi masih dinikmati masyarakat kelas atas. Demikian juga dengan subsidi pupuk.

"Dari 60 persen subsidi pupuk, 30 persennya dinikmati oleh pihak yang bukan target penerima subsidi, termasuk 40 persen petani yang sejahtera," ujar Ralph dalam webinar peluncuran Public Expenditure Review Bank Dunia, Senin (22/6/2020).

Laporan publik ini juga menemukan bahwa masyarakat miskin dan rentan yang menerima subsidi minyak tanah dan LPG hanya berkisar di angka 21 persen. Lalu, subsidi solar hanya diterima sekitar 3 persen dan subsidi listrik 15 persen.

Oleh karenanya, Ralph mendorong agar pemerintah Indonesia segera melakukan realokasi anggaran subsidi energi dan pupuk agar tidak semakin membebani negara.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Potensi Penghematan

Kementan
Herman Widiono mengatakan untuk pengiriman pupuk bersubsidi dari distributor ke kios, hingga kelompok tani masih sesuai prosedur.

Jika realokasi dilakukan, terdapat potensi penghematan belanja negara sebesar 0,7 persen dari PDB Indonesia per tahun (menggunakan data tahun 2017).

"Menghapus (realokasi) subsidi pupuk akan menciptakan ruang untuk belanja yang lebih efisien, efektif dan berimbang di sektor pertanian karena subsidi ini memiliki opportunity cost yang besar," tulis laporan tersebut.

Tak hanya itu, reformasi subdisi yang berhasil bakal menurunkan fluktuasi harga komoditas terhadap belanja dan memberi manfaat secara lingkungan.

"Lebih sedikit menghasilkan polusi udara lokal dan lebih sedikit emisi gas rumah kaca, defisit neraca perdagangan yang menurun akibat berkurangnya impor-impor produk bensin olahan, dan kemungkinan perusahaan-perusahaan menjadi lebih produktif, karena perusahan-perusahaan tersebut akan terdorong untuk menggantikan modal fisik yang sudah tua menjadi peralatan baru yang lebih efisien," tulis Bank Dunia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya