Ekonomi China Pulih, Harga Batu Bara Naik ke USD 75,84 per Ton di Januari 2021

Kementerian ESDM mencatat Harga Batu Bara Acuan (HBA) selama perdagangan bulan Januari naik USD 16,19 per ton atau 27,14 peren ke angka USD 75,84 per ton.

oleh Liputan6.com diperbarui 06 Jan 2021, 11:00 WIB
Diterbitkan 06 Jan 2021, 11:00 WIB
Ekspor Batu Bara Indonesia Menurun
Aktivitas pekerja saat mengolah batu bara di Pelabuham KCN Marunda, Jakarta, Minggu (27/10/2019). Berdasarkan data ICE Newcastle, ekspor batu bara Indonesia menurun drastis 33,24 persen atau mencapai 5,33 juta ton dibandingkan pekan sebelumnya 7,989 ton. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat Harga Batu bara Acuan (HBA) selama perdagangan bulan Januari naik USD 16,19 per ton atau 27,14 peren ke angka USD 75,84 per ton. Ini lebih tinggi dibandingkan bulan Desember tahun 2020, yaitu USD 59,65 per ton.

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM, Agung Pribadi mengatakan, HBA terus menujukkan tren positif pada awal tahun 2021. Menurutnya ada beberapa hal terkait faktor kenaikan komoditas batubara tersebut.

"Setelah hampir setahun adanya keterbatasan aktivitas ekonomi, pasar mulai bergerak pulih terutama di Tiongkok," kata Agung di Jakarta, Rabu (6/1).

Agung melanjutkan, Tiongkok punya peran penting dalam memengaruhi harga batubara lantaran mereka merupakan pasar utama bagi Indonesia setelah India. "Apalagi saat ini terjadi ketegangan hubungan perdagangan antara Tiongkok dengan Australia. Sentimen ini yang makin memperkuat," jelasnya.

Atas kenaikan ini, pergerakan HBA bergerak menuju level psikologis setelah sepanjang tahun 2020 akibat pandemi Covid-19 lebih banyak mengalami pelemahan ke level terendah. "Rata-rata HBA di tahun 2020 hanya sebesar USD 58,17 per ton dan menjadi yang terendah sejak 2015," tandas Agung.

Secara spesifik, Agung merinci, harga batu bara dibuka pada angka USD 65,93 per ton pada bulan Januari 2020. Sempat menguat sebesar 0,28 persen di angka USD 67,08 per ton pada bulan Maret dibanding Februari yang sebesar USD66,89 per ton, namun melorot pada April (USD65,77), Mei (USD61,11), Juni (USD52,98), Juli (USD52,16) dan Agustus (USD50,34).

"Puncaknya ada di bulan September dimana harganya hanya USD 49,42 per ton," ungkap Agung.

Harga Batubara kembali pulih (rebound) dalam tiga bulan terkahir, yaitu Oktober (USD51), November (USD55,71) dan Desember (USD59,65). "Supply dan demand tetap menjadi faktor perubahan (harga) utama di luar Covid-19 yang belum sepenuhnya terkendali," kata Agung.

Sebagai informasi, faktor turunan supply dipengaruhi oleh season (cuaca), teknis tambang, kebijakan negara supplier, hingga teknis di supply chain seperti kereta, tongkang, maupun loading terminal.

Sementara untuk faktor turunan demand dipengaruhi oleh kebutuhan listrik yang turun berkorelasi dengan kondisi industri, kebijakan impor, dan kompetisi dengan komoditas energi lain, seperti LNG, nuklir, dan hidro.

Nantinya, HBA bulan Januari ini akan dipergunakan pada penentuan harga batu bara pada titik serah penjualan secara Free on Board di atas kapal pengangkut (FOB Vessel).

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Beralih dari Batu Bara, Kebutuhan Listrik Diproyeksi Naik 4,5 Persen per Tahun

Ekspor Batu Bara Indonesia Menurun
Aktivitas pekerja saat mengolah batu bara di Pelabuham KCN Marunda, Jakarta, Minggu (27/10/2019). Berdasarkan data ICE Newcastle, ekspor batu bara Indonesia menurun drastis 33,24 persen atau mencapai 5,33 juta ton dibandingkan pekan sebelumnya 7,989 ton. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Vice President Pertamina Energi Institute (PEI) Hery Haerudin mengatakan, kebutuhan listrik di Indonesia diproyeksi akan meningkat hingga 4,5 persen per tahun dalam skenario pengembangan energi Green Transition atau GT (fokus pada energi terbarukan).

Berdasarkan hasil analisis PEI, kebutuhan listrik akan meningkat 3,7 persen per tahun dalam skenari Business As Usual (BAU), atau dalam kondisi bisnis stabil para pelaku usaha bidang energi di Indonesia.

"Kapasitas listrik terpasang turut berpotensi mencapai 268 Giga Watt pada 2050, pada skenario GT, dengan porsi energi terbarukan mencapai 56 persen," ujar Heru dalam Pertamina Energy Webinar 2020, Selasa (8/12/2020).

Heru menjelaskan, potensi penambahan kapasitas energi terbarukan terbesar berasal dari jenis energi surga dan angin yang mencapai 34 GW pada skenario Market Driven (MD dan 67 GW pada skenario Green Transition (GT) pada tahun 2050. Sedangkan panas bumi diproyeksi mencapai 10 GW dan 17 GW pada masing-masing skenario tersebut.

"Ini dikarenakan energi surya dan angin karena dari sisi cost ini yang paling murah saat ini, dilanjutkan dengan hidro dan panas bumi," jelasnya.

Dengan proyeksi peningkatan kebutuhan listrik dan gas, maka penambahan kapasitas pembangkit batubara diprediksi melambat, atau tumbuh dengan nilai yang minim yaitu 8 GW saja pada 2050 (skenario GT).

Pembangkit gas akan terus meningkat dengan potensi kapasitas mencapai 70 GW pada skenario GT. "Produksi listrik dari EBT (energi baru terbarukan) juga meningkat hingga 56 persen pada skenario Green Transition," tuturnya. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya