Liputan6.com, Jakarta Bank Indonesia (BI) akan kembali mengumumkan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate pada Kamis, 18 Februari 2021 hari ini. Keputusan itu akan dikeluarkan setelah bank sentral menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada Rabu hingga Kamis, 17-18 Februari 2021.
Sebelumnya, Bank Indonesia dalam RDG pada 20-21 Januari 2021 lalu telah memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan sebesar 3,75 persen. Itu jadi yang terendah sepanjang sejarah, atau sejak diberlakukan pada 21 April 2016.
Baca Juga
Adapun di sepanjang 2020, BI telah memangkas suku bunga acuan sebanyak lima kali atau sebesar 125 basis points (bps), dari semula 5 persen menjadi 3,75 persen.
Advertisement
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengemukakan, pihaknya masih memiliki ruang untuk menurunkan BI rate dalam rangka mendorong pemulihan ekonomi nasional di tengah pandemi Covid-19.
"Masih ada ruang. Tentu saja kami akan melihat kemungkinannya dengan tetap menjaga stabilitas, khususnya nilai tukar rupiah, dan bagaimana lebih efektifnya mendorong pemulihan ekonomi," ujar Perry beberapa waktu lalu.
Meski demikian, dia mengatakan, penurunan suku bunga acuan akan dilakukan dengan tetap mempertimbangkan efektivitas kebijakan pada stabilitas nilai tukar rupiah, stabilitas eksternal, dan dampaknya pada perekonomian nasional.
Suku Bunga Rendah Tak Cukup
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai, kebijakan Bank Indonesia dalam menurunkan suku bunga acuan rupanya belum cukup optimal dalam mendongkrak konsumsi dan penyaluran kredit.
"Padahal dari sisi kebijakan fiskal sudah dicoba diturunkan jadi 3,75 persen. Kalau normal harusnya pembentukan kapital langsung terbentuk cepat. Tapi di tengah pandemi enggak memberikan kontribusi signifikan," kata Kepala Center of Macroeconomics and Finance Indef M Rizal Taufikurahman.
Â
Saksikan Video Ini
Kebijakan Ekonomi
Rizal mengatakan, kemungkinan terdapat kebijakan yang tidak distimulasi dengan optimal, sehingga pengusaha dan konsumen tidak merespon penurunan BI rate. Karena tak ada respon, maka permintaan tidak kunjung naik.
Apalagi suku bunga kredit terus diturunkan hingga menyentuh angka hampir 11 persen. Ini justru dinilai memperdalam kontraksi pertumbuhan ekonomi pada 2020 lalu.
"PMTB (Pembentukan Modal Tetap Bruto) dengan dorongan BI rate ditekan mustinya pembentukan modalnya justru lebih tinggi. Anehnya di 2020 dengan ditekan BI rate pembentukan modal tidak terjadi, secara besarannya tidak sesuai harapan," tuturnya.
Menurut dia, daya beli yang masih lemah akibat Covid-19 yang sulit dikendalikan membuat efektivitas penurunan suku bunga tidak bekerja dengan maksimal.
"Suku bunga kredit konsumsi juga diturunkan, ditambah juga insentif untuk dorong supply demand driven dengan berbagai insentif bansos untuk dorong demand druven malah negatif juga. Ini tentu permasalahannya ada di daya beli, ditambah dengan Covid-19 yang semakin berkecamuk," ungkapnya.
Advertisement