Produsen Besar Turunkan Produksi, Peredaran Rokok Murah Bakal Kian Marak

Industri rokok kini mulai menghadapi tantangan akibat kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) 2021 sebesar 12,5 persen.

oleh Liputan6.com diperbarui 20 Apr 2021, 12:20 WIB
Diterbitkan 20 Apr 2021, 12:20 WIB
Ilustrasi Rokok
Ilustrasi Rokok. Foto (Ade Nasihudin/Liputan6.com).

Liputan6.com, Jakarta - Industri rokok kini mulai menghadapi tantangan akibat kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) 2021 sebesar 12,5 persen. Salah satunya adalah sebagian perusahaan besar yang tadinya ada di golongan 1 dengan produksi di atas 3 miliar batang, kini menurunkan produksinya di bawah 3 miliar batang.

Sejumlah perusahaan besar rokok seperti PT Nojorono Tobacco International (NTI) dan Korea Tomorrow & Global Corporation (KT&G) kini turun golongannya menjadi lebih rendah yakni di golongan 2.

Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Direktorat Jenderal Bea Cukai Nirwala Dwi Heryanto menjelaskan bahwa saat ini kedua pabrikan rokok yang turun golongan dari golongan 1 ke golongan 2 tersebut dikarenakan produksinya turun.

“Produksi rokok kedua pabrikan tersebut sepanjang tahun 2020 kurang dari 3 miliar batang,” ujar Nirwala, dikutip Selasa (20/4/2021).

Dia mengatakan penyebab penurunan golongan ini terjadi karena turunnya permintaan atas merek rokok yang diproduksi kedua pabrikan itu.

"Permintaan turun bisa daya beli masyarakat yang melemah atau perubahan selera konsumen atau bisa juga sebab lainnya," ujarnya.

Peneliti Center of Human and Economic Development Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (CHED ITB-AD) Adi Musharianto memandang tren penurunan golongan ini juga berdampak langsung pada meningkatnya peredaran rokok murah .

Selama ini, kata Adi mencontohkan, selisih tarif cukai antara golongan 1 dan 2 untuk segmen sigaret kretek mesin (SKM) memang cukup besar.

Hal ini artinya perusahaan golongan 1 yang turun dapat menghemat biaya produksi dari pembelian cukai hingga 38 persen per batang rokok yang dijual.

Selisih tarif cukai ini dapat dimanfaatkan oleh pabrikan untuk mendapatkan margin yang lebih besar, karena masih dapat memproduksi hingga 3 miliar batang rokok setahun.

“Betul bahwa bisa terjadi pergeseran konsumsi ke rokok murah, dan salah satu motif perusahaan rokok turun golongan adalah meraih besaran harga jual eceran (HJE) dan tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang dibayarkan kepada negara lebih murah. Dalam kondisi pandemi seperti ini harga murah tentu menjadi buruan bagi konsumen termasuk harga rokok.” katanya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Buka Akses ke Anak-Anak

20160930- Bea Cukai Rilis Temuan Rokok Ilegal-Jakarta- Faizal Fanani
Petugas memperlihatkan rokok ilegal yang telah terkemas di Kantor Dirjen Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Fenomena harga rokok menjadi semakin murah ini tentu sangat disayangkan karena berpotensi membuka akses bagi anak-anak untuk merokok.

“Tujuan penetapan batas HJE dan CHT adalah untuk mengendalikan konsumsi rokok agar tidak terjangkau rakyat miskin dan anak-anak. Namun apabila rokok dijual dengan harga murah tentu akan menghambat upaya pengendalian tembakau,” ujar Adi.

Oleh sebab itu, Adi merekomendasikan agar pemerintah lebih tegas untuk mengawasi penerapan kebijakan harga. “Pengawasan harga rokok menjadi hal yang urgen yang harus dilakukan oleh pemerintah saat ini,” katanya. Apalagi saat ini juga banyak perusahaan yang menjual produknya dengan harga yang lebih murah dari harga banderol yang telah ditetapkan sesuai cukainya.

Sebelumnya diberitakan banyak perusahaan rokok yang melakukan pelanggaran dengan menyunat harga transaksi pasar produk rokoknya hingga di bawah ketentuan batasan harga penjualan rokok yang sudah diatur oleh pemerintah dalam PMK 198/2020.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya