Ini Sejumlah Skema Penyelamatan Garuda Indonesia

Skema penyelesaian utang-utang Garuda Indonesia kepada kreditur dan lessor harus berjalan win-win solution.

oleh Liputan6.com diperbarui 09 Nov 2021, 14:10 WIB
Diterbitkan 09 Nov 2021, 14:10 WIB
Garuda Indonesia Airbus A330
Pesawat Airbus A330 yang dipesan Garuda Indonesia tiba di Bandara Soekarno Hatta pada 23 Juli 2009. (AFP / Arif Ariadi)

Liputan6.com, Jakarta - Kondisi maskapai PT Garuda Indonesia Tbk (Persero) yang merugi dan dibelit utang sangat besar tengah hangat menjadi bahan perbincangan. 

Pengamat Investasi Global dan Pasar Modal Edhi Pranasidhi menegaskan, pemerintah wajib menyelamatkan Garuda Indonesia. Pasalnya, selain sebagai maskapai penerbangan flag carrier yang menjadi salah satu identitas Indonesia di kancah internasional, mayoritas kepemilikan saham Garuda juga dikuasai oleh negara, dengan porsi lebih dari 60 persen.

Jika Garuda dibiarkan bangkrut, lanjut Edhi, salah satu kerugiannya adalah bisa menghilangkan kepercayaan investor asing kepada pemerintah Indonesia. Karena, kreditur dan lessor Garuda itu berinvestasi di Indonesia. Bila kepercayaan investor hilang, ke depannya akan menambah country risk investment bagi Indonesia.

Jadi, risiko berinvestasi di Indonesia bisa meningkat di mata investor asing. Selain itu, akan menimbulkan multiplier effect kepada industri di dalam negeri. Sebab, Garuda bukan hanya punya utang kepada lessor (prinsipal sewa pesawat), tapi juga ke sejumlah BUMN.

Founder Indonesia Superstocks Community itu menegaskan, skema penyelesaian utang-utang Garuda kepada kreditur dan lessor harus berjalan win-win solution bukan, lose-lose solution. Sebab, apabila skema penyelesaiannya merugikan Garuda, dampaknya pemerintah juga akan ikut menanggung kerugian.

"Dalam dunia bisnis, kepercayaan adalah segalanya," kata Edhi dalam keterangannya, Selasa (9/11/2021).

Menurut catatan Edhi, saat ini total aset Garuda sekitar Rp 146,6 triliun. Sementara itu, short term debt atau utang jangka pendek maskapai berkode saham GIAA ini sebesar Rp 73 triliun. Lalu, long term debt atau utang jangka panjang Garuda mencapai Rp 114,6 triliun. Angka ini berpotensi terus bertambah seiring berjalannya beban bunga utang Garuda.

Edhi menggambarkan, umumnya, kreditor memberikan pinjaman dalam dolar Amerika Serikat (AS) dengan bunga di atas 7 persen. Kalau dirupiahkan, bunganya rata-rata bisa 10 persen per tahun. Dengan bunga sebesar itu, maka kewajiban Garuda membayar bunga pinjaman sekitar Rp 7,3 triliun per tahun. Ini baru bayar bunga utang jangka pendek, belum termasuk utang jangka panjang.

Untuk kupon bunga jangka panjang, biasanya sebesar 10 persen per tahun. Jadi, untuk bayar bunga utang long term kepada kreditur berkisar Rp 11,4 triliun per tahun.

"Kondisi seperti ini seharusnya bisa menjadi pertimbangan bagi pemangku kebijakan di Indonesia untuk menyelamatkan Garuda," imbuh Edhi.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Yakinkan Kreditor Garuda Indonesia

Ilustrasi Pesawat Terbang
Pesawat Terbang Garuda Indonesia (Liputan6.com/Fahrizal Lubis)

Pemerintah, sambung dia, harus bisa meyakinkan kepada seluruh kreditor bahwa Garuda memiliki dana cash untuk membayar utang pokok beserta bunganya. Karena itu, pemerintah perlu menentukan skema yang tepat agar Garuda bisa membayar seluruh utangnya kepada kreditor. 

Untuk itu, ada beberapa skema opsi yang bisa dilakukan Garuda. Pertama, kata Edhi, pemerintah bisa memberikan ijin kepada Garuda untuk menerbitkan obligasi (bond) dengan tenor 30 tahun. Nilai obligasinya berkisar Rp 20 triliun sampai Rp 30 triliun. Dari jumlah ini, 50 persen digunakan untuk membayar utang dan sisanya untuk keperluan biaya operasional Garuda.

Tentu, yang membeli obligasi Garuda adalah pemerintah. Bisa juga, pemerintah berbagi beban dengan Bank Indonesia (BI). Toh, selama ini, BI juga membeli surat utang pemerintah. Penerbitan obligasi bisa dilakukan bertahap dengan kupon 1 persen per tahun. Tapi, pemerintah harus memberikan grace periode/masa tenggang 5 tahun bagi Garuda untuk membayar cicilan dan kupon obligasi.

Dengan adanya grace periode, Garuda bisa memperbaiki dulu kinerjanya selama lima tahun. Setelah lima tahun, baru Garuda mulai mencicil pembayaran dan kupon obligasi yang diterbitkan.

"Lewat penerbitan obligasi ini, bisa menjadi solusi bagi Garuda dan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan utang kepada para lender," papar Edhi.

Cara lainnya bisa lewat penerapan mandatory convertible bond (MCB) atau obligasi wajib konversi. Misalnya, ditetapkan harga MCB Rp 500 dengan jangka waktu selama 7 tahun dan bunga sebesar 6 persen. Yang beli MCB tentu kreditur. Setelah jatuh tempo, obligasi tadi dikonversi dengan saham Garuda.

"Jadi, ada kepercayaan dari kreditur bahwa Garuda punya niat untuk membayar utangnya," tegas Edhi.

Kalau MCB itu bisa mengurangi beban utang Garuda sebesar Rp 10 triliun saja, itu sudah lumayan. Dana sebesar itu, terutama bisa digunakan untuk membayar utang-utang short term.

Yang penting, kata Edhi, ekuitas Garuda bisa positif terlebih dahulu. Kalau kinerja Garuda positif, tentu akan ikut mempengaruhi pergerakan harga saham Garuda di pasar modal. 

Aksi Right Issue

Desain masker baru pesawat Garuda Indonesia pada armada B737-800 NG
Desain masker baru pesawat Garuda Indonesia pada armada B737-800 NG (dok: GIA)

Bagaimana jika skema penyelamatan Garuda lewat aksi right issue? Menurut Edhi, aksi korporasi ini juga bagus buat memperbaiki ekuitas Garuda. Cuma, skema right issue biasanya paling tidak disukai oleh pemerintah.

Alasannya, skema ini tidak akan memberikan apa-apa, selain penambahan kepemilikan pemegang saham mayoritas di Garuda.

Lagi pula, kalau skema itu yang diambil, maka Garuda harus menggelar right issue secara besar-besaran. Misalnya, dana yang dibutuhkan Garuda sebanyak Rp 20 triliun, maka harus dihitung berapa jumlah saham yang harus dilepas dalam right issue. Lalu, berapa harga saham right issue tersebut. Sebab, saat ini, total jumlah saham Garuda sekitar 25,9 miliar saham.

Dampak right issue, pastinya akan membuat kepemilikan saham eksisting akan terdilusi. Tentu, tidak semua pemegang saham Garuda setuju sahamnya terdilusi. Apalagi, jika harga saham rights issue Garuda di bawah harga saat mereka membeli saham Garuda di pasar modal. "Efeknya, akan ada kerugian bagi investor dari selisih harga pembelian saham dan harga right issue Garuda. Namun, demi menyelamatkan maskapai dan reputasi di mata global, semua pihak harus berkorban, jika opsi itu yang dipilih," beber Edhi. 

Kendati demikian, opsi yang paling feasible untuk dilakukan menurut Edhi adalah opsi pertama, yakni menerbitkan obligasi. Sebab, dengan skema obligasi, pemerintah bisa sharing dengan BI untuk membeli surat utang yang diterbitkan Garuda. Pasalnya, jika lewat right issue, BI tidak bisa ikutan membeli saham Garuda.

“Dengan berbagai skema penyelamatan seperti itu, lessor harusnya akan bersikap kooperatif, ketimbang piutangnya tidak dibayar sama sekali. Tapi, pemerintah juga harus memperbaiki dan merombak manajemen Garuda, dengan figur manajemen yang bersih dan punya visi bagus untuk membangun Garuda ke depan," tandas Edhi.

Apapun skema penyelamatan Garuda yang diputuskan Kementrian BUMN, membutuhkan komitmen dan dukungan penuh dari seluruh pemangku kepentingan, terutama pemerintah. Sebab, penyelesaian masalah yang membelit Garuda tidak mudah dan memiliki konsekuensi baik terhadap keuangan negara maupun reputasi Indonesia di mata investor global.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya