Liputan6.com, Jakarta - Pencucian uang atau money laundering merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk menyembunyikan ataupun menyamarkan dana dari hasil tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Tujuan pencucian uang untuk menyembunyikan ataupun menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah berasal dari sumber yang sah.
Baca Juga
Lantas kenapa money laundering dilarang?
Advertisement
Dikutip dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Selasa (26/7/2022), tindak pidana Pencucian Uang mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan.
Tak hanya itu saja, pencucian uang juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Oleh karena itu, pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang memerlukan landasan hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektivitas penegakan hukum, serta penelusuran dan pengembalian Harta Kekayaan hasil tindak pidana.
Adapun hukuman bagi yang melakukan tindak pidana pencucian uang, tertuang dalam pasal 3, “Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”
Kemudian pasal 4, Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Tahap Pencucian Uang
Sebagai informasi, pencucian uang pada umumnya dilakukan melalui 3 tahap, diantaranya yaitu:
1. Penempatan (placement)
Merupakan upaya menempatkan dana yang berasal dari hasil tindak pidana ke dalam sistem keuangan atau lembaga yang terkait dengan keuangan. Tahap penempatan merupakan tahap pertama dalam proses pemisahan harta kekayaan hasil tindak pidana dari sumber tindak pidananya.
2. Pemisahan/pelapisan (layering)
Merupakan upaya memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana.
Dalam kegiatan ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu ke tempat lain melalui serangkaian transaksi yang kompleks dan didesain untuk menyamarkan dan menghilangkan jejak sumber dana tersebut.
3. Penggabungan (integration)
Merupakan upaya menggunakan harta kekayaan hasil tindak pidana yang telah ditempatkan (placement) dan atau dilakukan pelapisan (layering) yang tampak sebagai harta kekayaan yang sah dan digunakan untuk kegiatan bisnis yang halal atau membiayai kembali kegiatan kejahatannya.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Dirjen Pajak Blak-Blakan Keuntungan Indonesia Jadi Anggota Organisasi Anti Pencucian Uang FATF
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suryo Utomo, memaparkan sejumlah keuntungan bagi Indonesia bila berhasil tembus menjadi anggota penuh Satgas Aksi Keuangan untuk Pencucian Uang, atau The Financial Action Task Force (FATF).
Suryo mengatakan, menjadi anggota FATF tentunya bakal mendongkrak kredibilitas Indonesia, baik dalam konteks hubungan bilateral antar negara maupun relasi bisnis.
"Jadi dengan kredibilitas yang bagus, hubungan antar negara bagus, dan hubungan bisnis pun bagus hari ini dan kemudian," ujar Suryo dalam sesi Sharing Session, Kenapa Indonesia Harus Jadi Anggota Penuh FATF bersama Liputan6.com, Selasa (26/7/2022).
Menurut dia, kredibilitas itu bakal terbentuk ketika Indonesia sudah menerapkan standar global terkait dengan anti pencucian uang dan anti pendanaan terorisme.
"Kalau bahasa saya sederhananya mungkin global transparancy, bagaimana kita jadi bagian daripada negara yang transparan. Menerapkan prinsip-prinsip untuk memerangi kegiatan pencucian uang dan pendanaan terorisme," bebernya.
Bila melihat dalam konteks yang lebih kecil, Suryo meneruskan, dengan menjadi bagian dari FATF ini mendudukan Indonesia bukan sebagai salah satu negara yang masuk dalam kelompok high risk country.
"Untuk tujuan tadi, tujuan ekonomi dan politik bukan lagi high risk country, dan lebih fokus lagi dengan bisnis yang lebih terbuka, iklim investasi akan lebih meningkat," kata Suryo.
Harapan besarnya, ia mengatakan, Indonesia yang menjadi negara anggota FATF pun bakal memperoleh keistimewaan dalam hal crossborder transaction. Sehingga pengenaan suku bunga untuk barang keluar/masuk antar negara jadi lebih rendah.
"Ujung-ujungnya kan cost-nya perusahaan juga menurun. Kalau di sisi kami yang ada di pajak, cost menurun harapannya jumlah pajak yang dibayar mendapat peningkatan," pungkas Suryo.