Liputan6.com, Jakarta - Aktivitas pabrik di China berkontraksi secara tak terduga pada Juli 2022 setelah bangkit kembali dari lockdown Covid-19.
Dilansir dari CNBC International, Senin (1/8/2022) indeks manajer pembelian manufaktur (PMI) China turun menjadi 49,0 pada Juli 2022 dari 50,2 pada Juni 2022, di bawah 50 poin yang memisahkan kontraksi dari pertumbuhan, kata Biro Statistik Nasional (NBS).
Baca Juga
Adapun PMI non-manufaktur China yang juga turun menjadi 53,8 pada Juli 2022 dari 54,7 pada bulan Juni. PMI komposit resmi, yang mencakup manufaktur dan jasa, juga turun menjadi 52,5 dari 54,1.
Advertisement
"Tingkat kemakmuran ekonomi di China telah turun, fondasi untuk pemulihan masih membutuhkan konsolidasi,' kata ahli statistik senior NBS Zhao Qinghe dalam sebuah pernyataan.
Dia menyebut, kontraksi yang belanjut di industri peleburan minyak, batu bara dan logam adalah salah satu faktor utama yang menurunkan PMI manufaktur China di bulan Juli.
Penurunan ini juga menandai angka terendah PMI China dalam tiga bulan, dengan sub-indeks untuk output, pesanan baru dan ketenagakerjaan semuanya berkontraksi.
Selama pandemi Covid-19, pabrik-pabrik di China telah melihat tingginya harga bahan baku, yang menekan margin keuntungan, karena prospek ekspor dihantui kekhawatiran resesi global.
Catatan penelitian oleh kepala ekonom dan kepala penelitian di Jones Lang Lasalle Inc, Bruce Pang mengatakan bahwa pemulihan ekonomi China terhambat karena permintaan konsumen yang melemah.
"Pertumbuhan di kuartal tiga mungkin menghadapi tantangan yang lebih besar dari yang diharapkan, karena pemulihannya lambat dan rapuh," bebernya.
Lockdown Covid-19 Berdampak pada 41 Persen Perusahaan China di Juli 2022
Pembuat kebijakan di China dilaporkan tengah bersiap untuk PDB yang tidak akan mencapai target 5,5 persen tahun ini, media pemerintah melaporkan setelah pertemuan tingkat tinggi Partai Komunis China.
Setelah sempat rebound pada bulan Juni, pemulihan di negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu tersendat karena wabah Covid-19 menyebabkan pengetatan pembatasan aktivitas di beberapa kota, sementara pasar properti yang dulunya kuat sedang menghadapi krisis.
Menurut World Economics, lockdown Covid-19 berdampak pada 41 persen perusahaan China pada bulan Juli, meskipun indeks kepercayaan bisnis manufaktur naik secara signifikan dari 50,2 pada Juni menjadi 51,7 pada Juli.
Salah satunya adalah di kota pelabuhan Tianjin, yang merupakan lokasi beroperasinya pabrik-pabrik kendaraan udara dan darat seperti Boeing dan Volkswagen.
Daerah lain di sekitar Tianjin juga memperketat pembatasan bulan ini untuk meredam wabah baru Covid-19.
Advertisement
IMF Minta China Pikirkan Ulang Imbas Kebijakan Nol Covid-19 ke Ekonomi
China disebut perlu mempertimbangkan kembali dampak kebijakan nol Covid-19 untuk menghindari penurunan ekonomi, serta menghasilkan solusi jangka panjang untuk krisis di sektor real estat.
Hal itu disampaikan oleh direktur Departemen Asia dan Pasifik di IMF Krishna Srinivasan, dalam sebuah wawancara.
"China telah membuat beberapa perubahan dalam membuatnya sedikit lebih fleksibel, tetapi kami merasa bahwa strategi ini dapat menjadi hambatan bagi perekonomian," kata Srinivasan, dikutip dari US News, Kamis (28/7/2022).
"Ini adalah masalah yang perlu ditangani," ujarnya.
Diketahui bahwa negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu telah memberlakukan serangkaian pembatasan ketat Covid-19, memicu ketidakpastian di antara penduduk dan bisnis atas kemungkinan lockdown lainnya di masa depan.
Kebijakan nol-Covid-19 di China juga menjadi salah satu faktor IMF memangkas perkiraan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) negara itu tahun menjadi 3,3 persen, dari semula 4,4 persen dalam World Economic Outlook (WEO) terbaru yang diterbitkan pekan ini.
Laporan WEO menyebut, ini akan menjadi pertumbuhan ekonomi terendah China dalam lebih dari empat dekade, tidak termasuk selama krisis Covid-19 awal pada tahun 2020.
Namun, kebijakan nol-Covid-19 bukan satu-satunya faktor di balik kekhawatiran IMF atas perlambatan ekonomi China.
Naiknya harga rumah dan melonjaknya utang rumah tangga juga memicu krisis di sektor real estat.
"Niat pemerintah untuk mengurangi leverage di sektor real estat sepenuhnya benar, tetapi telah menghambat pertumbuhan," ucap Srinivasan.
"Sekarang banyak rumah tangga yang menolak membayar KPR karena banyak proyek perumahan yang belum selesai," ungkapnya.
Ekonomi China Susut Imbas Lockdown, Terburuk Dibandingkan Awal Pandemi Covid-19
Ekonomi China mengalami kontraksi tajam pada kuartal kedua tahun ini karena lockdown Covid-19 yang meluas menghantam bisnis dan konsumen.
Dilansir dari BBC, Jumat (15/7/2022) Produk domestik bruto (PDB) China turun 2,6 persen dalam tiga bulan hingga akhir Juni 2022 dari kuartal sebelumnya.
Pada basis year-on-year, ekonomi China tumbuh hanya 0,4 persen di periode April-Juni 2022, kurang dari ekspektasi 1 persen.
"Pertumbuhan PDB kuartal kedua adalah hasil terburuk sejak awal pandemi, karena lockdown, terutama di Shanghai, sangat berdampak pada aktivitas pada awal kuartal," kata Tommy Wu, Ekonom Utama di Oxford Economics.
Angka resmi bulan lalu menunjukkan peningkatan kinerja ekonomi China menyusul dicabutnya pembatasan.
"Namun, data Juni lebih positif, dengan aktivitas meningkat setelah sebagian besar lockdown dicabut. Tetapi penurunan real estat terus menyeret pertumbuhan," tambah Tommy Wu.
Sementara itu, Jeff Halley, analis pasar senior untuk Asia Pasifik di platform perdagangan Oanda, mengatakanbahwa dia juga melihat beberapa titik terang dalam data ekonomi hari ini dari China.
"PDB lebih buruk dari yang diharapkan, namun pengangguran turun menjadi 3,5 persen dan penjualan ritel mengungguli secara mengesankan," ungkap Halley.
"Pasar keuangan cenderung berkonsentrasi pada angka ritel, yang tampaknya menunjukkan konsumen China dalam kondisi yang lebih baik dari yang diharapkan," jelasnya.
Advertisement