Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Senior dan Wakil Menteri Keuangan Indonesia Anny Ratnawati, mengatakan bahwa perlambatan ekonomi itu bukan hanya karena pandemi covid-19. Jauh sebelum pandemi, perlambatan ekonomi sudah ada tanda-tandanya.
“Dari mana (tanda-tandanya) yaitu adanya trade war antara Amerika dan China dan ini bukan hal yang baru ini sebetulnya sudah dari 2004, itu sudah mulai eskalasi karena Amerika merasa defisitnya terus bertambah besar terhadap Cina,” kata Anny dalam Dialog Pakar: Peran APBN dalam Rangka Pemulihan Ekonomi Global dan Antisipasi Risiko Global, Senin (12/12/2022).
Baca Juga
Menurutnya, setelah muncul trade war Amerika Serikat-China, perlambatan ekonomi juga dipengaruhi oleh perang Rusia-Ukraina, kemudian lockdown-nya China berlanjut.
Advertisement
Tentu, adanya hal-hal tersebut berpengaruh terhadap harga pangan dan harga energi menjadi tinggi. Adanya gangguan rantai pasok maka dampaknya pertumbuhan ekonomi dunia menjadi melambat.
“Tetapi dari semua isu ini sebetulnya yang betul-betul unik itu bahwa krisis Global atau terjadinya pergolakan di dalam ekonomi dunia itu dimulai dari supply shock atau dari sisi agregat suplainya yang digoyang,” ujarnya.
Dia menjelaskan, jika supply shocknya terus terganggu dan bermasalah maka akan menyebabkan resesi atau dunia mengalami perlambatan ekonomi dan terjadi inflasi tinggi.
“Kerepotannya dua, kita dapat resesi atau perlambatan ekonomi plus inflasi itu pasti terjadi,” ujarnya.
Namun, bedanya ketika pandemi covid-19 supply shocks tidak terjadi. Sebab, aktivitas atau pergerakan masyarakat dibatasi, sehingga tidak terjadi inflasi dan perlambatan pertumbuhan ekonomi juga belum terasa.
“Hanya beruntungnya ketika supply shocks terjadi di pandemi covid kita juga diam-diam di rumah, demand-nya tidak tereskalasi sehingga shock suplainya berkurang karena perusahaan juga tutup. Jadi, inflasi tidak terlalu terasa perlambatan ekonomi terasa,” jelasnya.
Ekspansi Fiskal
Seiring berjalannya waktu, setelah pandemi berhasil terkendali, maka supply shock-nya mulai terasa. Karena banyak negara-negara yang membutuhkan gas, butuh komoditas, dan sebagainya. Sehingga demand-nya meningkat.
“Ketika pandemi dirilekskan kita bergerak maka supply shock-nya terasa karena butuh gas, butuh komoditas dan sebagainya sehingga demandnya yang tereskalasi, karena semua negara melakukan ekspansi fiskal dan ekspansi moneter bersamaan,” ujarnya.
Mantan Wakil Menteri Keuangan periode 2010-2014 ini menjelaskan, ekspansi fiskal yaitu APBN-nya disehatkan karena ingin menjaga konsumsi rakyat banyak, namun tetap dalam jalur yang bisa dipertahankan.
Tapi di saat yang bersamaan Bank sentral di negara-negara maju melonggarkan suku bunganya, sehingga investasinya naik.
“Ini double sebetulnya, fiskalnya ekspansif dan moneternya ekspansif, tetapi supply side tidak bisa mengejar kecepatan dari permintaan. Maka kombinasinya biasanya adalah pertumbuhan ekonominya tidak akan besar dan tinggi, tapi melambat dan inflasinya bisa high inflation. Itu yang terjadi di Amerika,” pungkasnya.
Advertisement
Indonesia Bisa Jadi Cahaya Saat Ekonomi Dunia dalam Kegelapan
Sebelumnya, banyak pihak menyebut Indonesia mampu menjadi lentera di saat ekonomi global mengalami resesi atau gelap di 2023 mendatang. Bukan tanpa alasan, pertumbuhan ekonomi yang tetap baik menjadi salah satu faktornya.
Pengamat sekaligus Rektor Unika Atma Jaya Jakarta Agustinus Prasetyantoko mengamini hal itu. Dia juga sepakat kalau resesi global tak akan berdampak banyak pada Indonesia.
"Jelas sekali Indonesia termasuk sedikit negara yang tegoncang resesi, jelas kita dengan beberapa negara lain resiliensi ini memberi harapan. Meskipun risiko resesi tak bisa dihindarkan tapi disitu tetap bisa bertahan. Saya kira ini bisa jadi harapan," kata dia dalam Inspirato Sharing Session Liputan6.com bertajuk 'Jadikan G20 Bali Declaration Pijakan Ekonomi Bangkit', Jumat (9/12/2022).
"Indonesia tidak masuk resesi jadi simbol lentera yang sekali lagi ini jadi peluang Indonesia di masa depan tak hanya tahun depan. Mungkin tak kembali dalam sejarah kita," sambung pria yang karib disapa Pras ini.
Pras tak memungkiri resesi global akan berdampak ke beberapa negara termasuk negara maju. Dia menyebut, Amerika Serikat jadi contoh yang akan mengalami resesi di 2023 mendatang.
Selain itu, pelemahan ekonomi di Uni Eropa dan China juga akan mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi global. Imbasnya, negata lain akan ikut terdampak pelemahan tersebut.
Indonesia masuk radar pelemahan tersebut. Hanya saja, kata Pras, dampaknya tidak akan signifikan dan cenderung lemah. Alasannya, Indonesia punya banyak modal untuk mengembangkan ekonomi domestiknya.
"Kalau kita akan terdampak negatif itu tak signifikan, terpengaruh negatif itu tapi relatif lemah, sedikit. Jadi diskusi ekonomi Indonesia bukan lagi soal (kemungkinan) resesi, tidak, tapi apakah kita bisa resillience dan menemukan peluang baru dalam mengelola ekonomi ke depan," ujarnya.