Liputan6.com, Jakarta Pemerintah telah melarang ekspor nikel mentah sejak 2019. Meskipun kebijakan ekspor nikel tersebut digugat di WTO oleh Uni Eropa, pemerintah akan terus melanjutkan untuk melarang ekspor komoditas lainnya.
Terbaru, Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengumumkan bahwa pemerintah akan melarang ekspor bijih bauksit mulai Juni 2023.
Baca Juga
"Mulai Juni 2023 pemerintah akan melarang ekspor bijih bauksit," kata Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara, Jakarta Pusat, Rabu (21/12/2022).
Advertisement
Pelarangan ekspor bauksit ini akan mendapatkan penolakan dari negara lain sebagaimana yang terjadi saat melarang ekspor nikel. Bahkan saat ini Indonesia tengah digugat ke WTO karena melarang ekspor nikel mentah.
"Kita digugat ya enggak apa-apa. Nikel digugat, dan kita akan stop komoditas lain, nanti digugat lagi. Suruh aja gugat aja terus, kita stop lagi, gugat lagi. Iya enggak apa-apa," ungkapnya saat memberikan sambutan di acara Outlook Ekonomi Indonesia 2023 di Hotel Ritz Calton, Jakarta Selatan, Rabu (21/12/2022).
Terpenting kata dia, tugasnya sebagai kepala negara mencari nilai tambah dari produk yang dihasilkan dari dalam negeri. Sebab hilirisasi produk telah terbukti mampu mendorong pertumbuhan ekonomi domestik.
"Tugas kita adalah mencari nilai tambah sebesar-besarnya," kata dia.
Tercermin dari pelarangan ekspor nikel tahun 3 tahun lalu. Dulu ekspor nikel hanya USD 1,1 miliar. Setelah dilakukan hiilrisasi, nilai ekspor nikel meroket hingga USD 30 miliar di tahun ini. Artinya dari pendapatan yang hanya Rp 18 triliun naik menjadi Rp 460 triliun.
"Ini betapa lompatan nilai tambah yang kita dirugikan puluhan tahun. Pajaknya kita enggak dapat, kalau punya deviden kita enggak dapat, royalti enggak dapat," tuturnya.
Termasuk penyerapan lapangan kerja yang minim jika hasil bumi langsung diekspor mentah ke luar negeri. Makanya Indonesia terus menggencarkan hilirisasi hasil tambang untuk mendapatkan nilai tambah.
Jokowi menambahkan, pelarangan ekspor tidak hanya akan berhenti di nikel dan bauksit. Bakal ada hasil tambang lain yang juga akan dilarang ekspornya dalam bentuk barang mentah.
"Tahun depan kita stop lagi 1 atau 2 komoditas," pungkasnya.
Indonesia Kalah Gugatan Nikel di WTO, Jokowi: Kita Banding
Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak pantang menyerah meskipun kalah dalam gugatan larangan ekspor nikel oleh Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Menurut dia, itu jadi bentuk komitmen Pemerintah RI dalam program hilirisasi industri. Sehingga Indonesia bukan hanya dikenal sebagai pengekspor bahan mentah alias raw material saja.
"Sekali lagi, meskipun kita kalah di WTO, kalah kita urusan nikel ini digugat oleh Uni Eropa dibawa ke WTO kita kalah, enggak apa-apa. Kalah saya sampaikan ke menteri, banding," tegas Jokowi dalam Rapat Koordinasi Nasional Investasi 2022 di Ritz-Carlton Hotel Jakarta, Rabu (30/11/2022).
Jokowi pun tidak mempermasalahkan bila ada sejumlah negara yang menggugat kebijakan Indonesia yang menahan laju ekspor bahan mentah. "Kalau ada negara lain yang menggugat, ya itu haknya negara lain yang menggugat, karena ya memang terganggu," imbuhnya.
Setelah melakukan pengecekan alasan Uni Eropa menggugat larangan ekspor nikel, ia menemukan bahwa komoditas tersebut jadi bahan utama sektor industri di sana.
"Kalau dikerjain di sini, di sana akan ada pengangguran. Di sana akan ada pabrik yang tutup, di sana akan ada industri yang tutup," papar Jokowi.
"Tapi kan kita juga mau maju, kita ingin maju, negara kita ingin menjadi negara maju. Kita ingin membuka lapangan kerja. Kalau kita digugat saja kita takut, mundur, enggak jadi, ya enggak akan kita menjadi negara maju," tuturnya.
Oleh karenanya, ia mengajak seluruh jajarannya untuk terus berkomitmen dan tidak gentar menghadapi gertakan negara maju atas kebijakan yang diambil Pemerintah RI.
"Terus saya sampaikan kepada menteri, terus (lanjutkan program hilirisasi), tidak boleh berhenti. Tidak hanya berhenti di nikel, tapi terus yang lain," pungkas Jokowi.
Advertisement
Pemerintah Didukung Hadapi Kebijakan Global soal Nikel
Putusan panel World Trade Organization (WTO) menghendaki agar pemerintah Indonesia membuka kembali ekspor nikel. Sebelumnya hal itu sempat disengketakan oleh Uni Eropa melalui Badan Penyelesaian Sengketa atau Dispute Settlement Body (DSB).
Menanggapi hal tersebut, Pengurus Pusat Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Fajar Hasan mengatakan, putusan WTO tersebut harus dilawan. Sebab, putusan WTO berpotensi dapat mengganggu program hilirisasi pengelolaan sumber daya alam yang sedang berjalan khususnya nikel.
“Putusan panel WTO menghendaki pemerintah Indonesia membuka kembali Kran ekspor nikel. Ini berpotensi dapat mengganggu program hilirisasi pengelolaan sumber daya alam di Indonesia," kata pengusaha muda asal Sulawesi Tenggara ini, melalui keterangan tertulis, Senin(28/11/2022).
Fajar meyakini, hilirisasi telah dirasakan oleh rakyat, efek nilai tambahnya menggerakan pertumbuhan ekonomi khususnya bagi daerah. Misalnya, pembangunan smelter nikel di daerah, menyerap tenaga kerja dan pendapatan negara/daerah menjadi meningkat.
“Ini fakta statistik dan empirik bahwa program hilirisasi harus berlanjut, tidak boleh terhenti hanya karena tekanan Uni Eropa dan WTO," ungkap Fajar Hasan.
Kebijakan Nasional
Selain itu, pria yang juga menjabat sebagai Wakil Bendahara Umum ICMI Pusat ini mengatakan, kebijakan hilirisasi pengelolaan nikel di dalam negeri merupakan kebijakan nasional, dengan tujuan untuk melindungi sumber daya alam, agar pengelolaan dan pemanfatannya di dalam negeri.
“Negara lain atau badan dunia, tidak boleh mengintervensi kebijakan nasional negara lain (termasuk Indonesia). Jika hal itu dilakukan, secara tegas dapat kita katakan bahwa Uni Eropa dan WTO telah mencampuri urusan dalam negeri kita, mengganggu kedaulatan hukum Indonesia,” tegas dia.
Fajar mewanti, Uni Eropa dan WTO harus menghormati rambu-rambu diplomatik dan yuridiksi suatu negara. Hal itu dilakukan sebagai prinsip dasar hubungan antarnegara atau badan-badan internasional.
“Ya, kami dukung pemerintah untuk melakukan banding atas putusan WTO tersebut," dia menandasi.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Advertisement