Liputan6.com, Jakarta Perum Bulog terus menyerap beras dari petani untuk mempertahankan cadangan beras nasional. BUMN ini memang mendapat tugas dari pemerintah untuk membeli beras hasil produksi petani nasional.
Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan menjelaskn, Perum Bulog membeli akan membeli beras dari petani dengan harga terbaik, bukan harga terendah ataupun tertinggi.
Baca Juga
"Jadi Maret nanti Bulog tugasnya berapapun beli dari masyarakat dengan harga terbaik bukan harga paling tinggi murah," ujar Zulkifli di Kantor Kementerian Perdagangan, Jumat (6/1/2023).
Advertisement
Sementara itu, dia menambahkan, hingga Desember 2022 beras impor yang terserap sebagai cadangan beras pemerintah sudah 70.000 ton. Dan jumlah tersebut diharapkan telah hingga Januari- Februari akhir. Sebab pada Maret, sudah memasuki panen raya.
Menurut Zulkifli pembelian beras harga terbaik oleh Bulog merupakan win-win solution bagi masyarakat penerima subsidi dan petani.
"Dengan demikian tidak ada yang dirugikan bagi yang miskin dapat beras yang subsidi tapi petani dapat harga yang mahal jadi dua-duanya win untung," ungkapnya.
Reporter: Yunita Amalia
Sumber: Merdeka.com
Indonesia Buka Keran Impor Beras, Pengamat: Bukan Akibat Gagal Panen
Keputusan pemerintah untuk impor beras sebanyak 500 ribu ton di penghujung 2022 dan awal 2023 telah menimbulkan pro kontra di masyarakat.
Alasan utama impor beras karena menipisnya cadangan beras pemerintah (CBP) di Bulog yang diperkirakan tinggal 200 ribu ton sampai akhir tahun.
Menanggapi hal tersebut, Pemerhati Pertanian dan Ketua Komunitas Industri Beras Rakyat (KIBAR) Syaiful Bahari mengatakan, masalah impor beras merupakan fenomena puncak gunung es.
Akar persoalannya bukan karena gagal panen sehingga industri penggilingan padi tidak dapat bahan baku gabah. Apalagi, sudah lebih duapuluh tahun industri penggilingan padi di berbagai daerah tidak ada masalah dengan suplai gabah.
"Meskipun di satu wilayah gagal panen atau panennya kurang bagus, umumnya mereka memperoleh dari wilayah lain, bahkan saling suplai antar pulau. Artinya, pasar suplai gabah berjalan normal," kata Syaiful kepada media di Jakarta, Senin, (26/12).
Tak hanya itu, lanjut Syaiful, Bulog sendiri sudah lama menjalankan program serap beras medium dan premium untuk memenuhi Cadangan Beras Pemerintah (CBP) dari industri-industri penggilingan padi, sejauh ini berjalan baik.
Namun Syaiful mempertanyakan mengapa kali ini harus impor. Selain itu, harus dibuka juga transparansi ke publik terkait distribusi CBP yang ada di Bulog, apakah benar-benar habis atau lari kemana.
Menurut Syaiful, saat ini sebagian besar penggilingan padi rakyat di daerah tidak mampu lagi mensuplai Bulog, dikarenakan harga gabah yang tinggi sehingga penggilingan padi kecil menengah tidak bisa lagi berproduksi.
"Dari 160 ribu penggilingan padi yang ada diperkirakan hanya sepuluh persen saja yang masih aktif berproduksi. Itulah sebabnya peredaran beras di pasar juga semakin berkurang karena industri penggilingan padi banyak yang tidak jalan," kata Syaiful.
Advertisement
Penggilingan Padi
Syaiful mengungkapkan, penggilingan padi di Jabar, Jateng dan Jatim saat ini kesulitan mendapatkan gabah, jika ada harganya sudah mahal. Karena sebagian besar gabah sudah diserap oleh korporasi besar.
"Korporasi ini dengan permodalan kuat tidak ada masalah membeli gabah petani skala besar-besaran, sehingga memicu kenaikan harga gabah. petani jangan cepat-cepat senang dengan harga gabah yang tinggi saat ini, karena anomali harga tersebut bisa jadi bumerang bagi petani sendiri ketika sebagian besar industri penggilingan kecil menengah yang jumlahnya besar banyak yang bangkrut," ungkapnya.
Syaiful mengatakan, masalah diatas harus jadi perhatian serius kalau memang pemerintah masih peduli dengan industri penggilingan padi rakyat yang tersebar di pedesaan. Penggilingan padi rakyat tidak mungkin bisa bersaing dengan kemunculan industri beras skala besar (konglomerasi).
Baik dari modal kerja dan teknologi, penggilingan padi rakyat jauh tertinggal yang tentunya berpengaruh dengan kapasitas dan kualitas produksi beras mereka.
"Mereka tidak mampu memenuhi standar Bulog dan pasar retail moderen," tambahnya.