Liputan6.com, Jakarta Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyegel wilayah reklamasi seluas 3.000 meter persegi di Teluk Tering, Batam, Kepulauan Riau.
Penyegelan dengan dasar wilayah tersebut karena tidak memiliki perizinan dasar Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) serta tidak memiliki izin reklamasi.
Baca Juga
"Ini adalah satu contoh yang coba untuk kita tertibkan dengan baik, ada pemiliknya di sini. Sekarang dia sedang mengurus, tapi mengurus setelah ini (reklamasi) dilakukan. Idealnya adalah sebelum dilakukan reklamasi ini harusnya urus dulu," ujar Sakti Wahyu Trenggono usai melakukan penyegelan wilayah reklamasi di kawasan Batam melansir Antara, Kamis (8/6/2023).
Advertisement
Penertiban yang dilakukan terkait pengelolaan ruang laut, lanjut dia, terus dilakukan pihaknya sejak menjabat sebagai Menteri Kelautan Perikanan 1,5 tahun yang lalu.
Ia pun menyayangkan kegiatan reklamasi yang dilakukan PT. BMI dan meminta pelaku usaha melengkapi perizinan sebelum memulai reklamasi dalam negeri.
"Kalau ditanya kenapa baru sekarang (disegel), ya ini harusnya minta izin duluan. Harus minta izin duluan, tapi kalau saya bilang ini tidak bisa harus dibongkar, udah rusak di bawah. Di bawah sudah terlanjur rusak ya sudah kita izinkan, kita segel kita minta tolong perizinannya sesuai prosedur tapi sebetulnya sudah keliru," paparnya.
Ke depan, apabila ada tindakan-tindakan reklamasi ilegal, maka secara cepat pihaknya akan melakukan penelitian termasuk material yang digunakan untuk reklamasi.
"Kemudian kalau ada tindakan-tindakan seperti ini (reklamasi ilegal), secara cepat akan dilakukan penelitian. Sebelum berlanjut, kita hentikan," pungkasnya.
Sebagai informasi, penyegelan lokasi reklamasi ini dilakukan karena melanggar Peraturan Menteri (Permen) Kelautan Perikanan Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pengawasan Ruang Laut.
Greenpeace Indonesia Tolak Gabung Tim Kajian Ekspor Pasir Laut, Menteri KKP Heran
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyayangkan Greenpeace Indonesia yang menolak bergabung ke tim kajian bentukan Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) mengenai ekspor pasir laut.
Menurut Trenggono, seharusnya Greenpeace Indonesia tidak menolak ajakan dari KKP. Padahal, jika mereka menemukan dampak negatif dari ekspor pasir laut, mereka bisa langsung melapor dan membahas dengan tim kajian di KKP.
"Ngapain menolak? Kalau dia pintar, enggak bakalan menolak. Masuk aja, kemudian dia kaji. Kalau menurut dia ini merusak lingkungan, dia setop. (bilang) enggak bisa. Selesai," kata Sakti Wahyu Trenggono saat ditemui di Kebumen, Rabu (7/6/2023).
Selain itu, jika Greenpeace Indonesia tergabung ke dalam tim kajian KKP, maka mereka memiliki wewenang guna menentukan kebutuhan dari hasil sedimentasi pasir laut tersebut, utamanya untuk yang diekspor.
"Sedimentasi hanya bisa dilakukan, hanya bisa diambil, digunakan untuk kepentingan reklamasi baik di dalam negeri maupun luar negeri, itu harus lewat tim kajian. Kalau mengatakan itu bisa dilakukan, lakukan. Kalau tidak, ya tidak bisa," jelas Menteri KKP.
Advertisement
Penolakan Greenpeace Indonesia
Sebelumnya, dilansir dari laman Greenpeace, pihak Greenpeace Indonesia menolak terlibat dalam tim kajian yang akan dibentuk Kementerian Kelautan dan Perikanan RI sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Bahkan Greenpeace mendesak pemerintah segera membatalkan regulasi kontroversial tersebut, karena berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan secara masif.
“Kami secara tegas menolak terlibat dalam tim kajian KKP untuk implementasi PP 26/2023. Sikap kami jelas, pemerintah harus membatalkan PP tersebut," kata Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Afdillah.
Afdillah menyebut regulasi ini adalah upaya greenwashing atau akal-akalan pemerintah yang mengatasnamakan pengelolaan laut demi keberlanjutan.
"Padahal, di balik itu semua, PP ini justru akan menjadi ‘pelicin’ oligarki dan para pelaku bisnis untuk meraup keuntungan dari aktivitas ekspor pasir laut," pungkas Afdillah.