Ketidakpastian Regulasi Gerus Produktivitas Industri Sawit

Produktivitas industri kelapa sawit nasional terancam lantaran adanya ketidaksinkronan regulasi yang menciptakan ketidakpastian baru bagi pelaku usaha.

oleh Septian Deny diperbarui 29 Sep 2023, 20:45 WIB
Diterbitkan 29 Sep 2023, 20:45 WIB
Ilustrasi CPO 5 (Liputan6.com/M.Iqbal)
Produktivitas industri kelapa sawit nasional terancam lantaran adanya ketidaksinkronan regulasi yang menciptakan ketidakpastian baru bagi pelaku usaha. (Liputan6.com/M.Iqbal)

Liputan6.com, Jakarta Produktivitas industri kelapa sawit nasional terancam lantaran adanya ketidaksinkronan regulasi yang menciptakan ketidakpastian baru bagi pelaku usaha.

Pemicunya adalah adanya perbedaan ketentuan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengenai hak guna usaha (HGU) sehingga menghambat produksi kelapa sawit nasional.

Pengamat Perkebunan Budi Mulyanto mengatakan, memperoleh HGU adalah proses yang tidak mudah karena harus memenuhi rangkaian verifikasi legalitas yang jelas sebagaimana aturan turunan UU No 5 tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria.

Menurutnya, tanah yang diberi HGU adalah tanah yang telah bebas dari status kawasan hutan, konflik perizinan, garapan masyarakat, kayu/hasil hutan, peta moratorium izin, inti-plasma.

"Jadi kalau HGU telah diterbitkan selayaknya hukum negara melindungi dan jangan diganggu-ganggu lagi. Jangan pula dimasukkan ke dalam Status Kawasan Hutan," katanya, Jumat (29/9/2023).

Budi menambahkan, jika hak atas tanah yang telah terbit sah berdasarkan hukum negara kemudian dimasukkan ke dalam kawasan hutan, ini akan menimbulkan berbagai persoalan yang ujungnya akan terjadi sengketa-konflik agraria dan akan mengganggu iklim berusaha.

Kontribusi Industri Kelapa Sawit

Apalagi industri kelapa sawit berkontribusi nyata dalam penyediaan lapangan kerja dan pengembangan ekonomi lokal, regional, nasional, maupun global.

"Yang harus dilakukan pemerintah adalah semua hak atas tanah (HGU, HGB, HM) termasuk yang digunakan sebagai perkebunan sawit tidak disangkut-pautkan dengan kawasan hutan," jelasnya.

Dia menambahkan, pemerintah juga perlu melakukan perbaikan data spasial (peta-peta) dan data tekstual yang terkait aspek legalitas agar masyarakat tentram, iklim berusaha menjadi lebih jelas, lapangan kerja terus dapat dikembangkan.

"Jika upaya upaya di atas tidak dilakukan bukan saja produktivitas sawit yang terganggu, tapi juga penciptaan lapangan kerja terganggu," katanya.

Jaga Harga Sawit Petani, Kelanjutan Program Biodiesel Butuh Kepastian

minta-pajak-cpo-turun130110b.jpg
Ilustrasi sawit

Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) meminta pemerintah agar tidak membiarkan kasus biodiesel berlarut-larut. Itu dimaksudkan agar kasus tersebut tidak berdampak terhadap masa depan program biodiesel nasional dan petani sawit tidak menjadi korban.

“Kalau ada catatan di biodiesel, kami setuju Kejagung sebagai aparat penegak hukum melaksanakan tugasnya. Kalau ada yang salah segera diselesaikan agar tidak ada multi tafsir. Orang akan tanya (biodiesel) akan dilanjutkan atau tidak. Tapi itu jangan berlarut-larut karena ini tidak baik bagi kami petani sawit,” kata Ketua Umum Apkasindo Gulat ME Manurung.

Dia mengingatkan, biodiesel merupakan mandatory pemerintah bagi kemandirian energi, dan agar minyak sawit dapat terserap di dalam negeri. Hal itu terbukti selama empat tahun terakhir harga tandan buah segar (TBS) petani juga meningkat mengikuti pergerakan harga minyak sawit dunia.

Data Apkasindo menunjukkan, harga TBS petani pasca implementasi mandatori B30 meningkat menjadi Rp 1.800-2.550 per kg, atau lebih tinggi dibanding tingkat harga pada tahun-tahun sebelumnya yang hanya Rp 700-1.200 per kg.

Menurut Gulat, semua pihak juga perlu hati-hati dalam menyikapi kasus biodiesel karena akan ada efek domino terhadap petani sawit.

Pasalnya,  instansi terkait pelaksana program biodiesael, seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Perekonomian, Pertamina, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Kementerian Pertanian, akan mengevaluasi program tersebut jika ada masalah hukum, bahkan tidak menutup kemungkinan akan dihentikan.

“Kalau biodiesel dihentikan akan ada 13,5 juta ton per tahun minyak sawit yang tidak terserap,” ujar Gulat.

 

Harga Minyak Sawit

cpo-ekspor130527c.jpg
Ilustrasi sawit

Dia mencontohkan, harga minyak sawit langsung terkoreksi begitu ada berita mengenai kasus biodiesel. Harga tender minyak sawit di Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) turun dari Rp 11.300 per kg dan sempat menyentuh Rp 9.800 per kg.

“Harga minyak sawit yang anjlok akan terkoneksi dengan 17 juta petani. Isu sawit yang sedang tidak baik-baik saja akan mempengaruhi industri (sawit) secara global di Indonesia,” papar dia.

Berdasarkan catatan Apkasindo, harga TBS petani swadaya terjun bebas dari Rp 3.300 per kg menjadi di bawah Rp 1.500 per kg saat ada larangan ekspor minyak goreng dan bahan baku turunannya, termasuk minyak sawit pada 28 April 2022.

 

Infografis Dampak Larangan Ekspor CPO dan Produk Turunannya. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Dampak Larangan Ekspor CPO dan Produk Turunannya. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya