Liputan6.com, Jakarta Inflasi Indonesia bulan September 2023 tercatat tetap terkendali pada rentang sasaran 3%±1 yaitu pada level 2,28% yoy, di tengah kekhawatiran terhadap kenaikan harga komoditas pangan dan energi global. Realisasi inflasi tersebut merupakan yang terendah sejak Februari 2022.
Pencapaian inflasi Indonesia ini tidak terlepas dari koordinasi dan sinergi yang kuat berbagai pihak melalui TPIP-TPID dalam mengendalikan gejolak harga di tengah berbagai tantangan.
Baca Juga
Selain itu, capaian tersebut juga lebih baik dibandingkan realisasi inflasi sejumlah negara seperti Jepang (3,2% yoy), Korea Selatan (3,4% yoy), Vietnam (3,66% yoy), Amerika Serikat (3,7% yoy), Euro Area (4,3% yoy), Jerman (4,5% yoy), Brazil (4,61% yoy), Rusia (5,2% yoy), Inggris (6,7% yoy), India (6,83% yoy), Turki (58,94% yoy) dan Argentina (124% yoy).
Advertisement
“Pencapaian realisasi inflasi September 2023 didukung oleh inflasi volatile food (VF) yang terkendali, inflasi administered prices (AP) yang terus melandai dan inflasi core/inti yang terjaga stabil. Inflasi Indonesia relatif terkendali di tengah gejolak harga sejumlah komoditas pangan dan energi global serta adanya ancaman el nino,” ungkap Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Airlangga Hartarto, dalam keterangan tertulis, Selasa (3/10/2023).
Perkembangan Inflasi September 2023
Perkembangan inflasi September 2023 dipengaruhi oleh pergerakan seluruh komponen inflasi. Di tengah tantangan kenaikan harga beras, inflasi VF masih terkendali di level 3,62% (yoy) dan sesuai dengan rentang sasarannya yang disepakati dalam High Level Meeting Tim Pengendalian Inflasi Pusat (HLM TPIP) pada 20 Februari 2023 yakni kisaran 3% s.d 5% (yoy).
Pemerintah terus berupaya menjaga ketersediaan pasokan pangan di antaranya melalui penguatan cadangan pangan pemerintah khususnya beras. Penyaluran beras medium melalui program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) terus dilaksanakan.
Lebih lanjut, dalam rangka menjaga daya beli masyarakat miskin dan rentan, bantuan pangan beras kembali disalurkan kepada 21,3 juta KPM. Realisasi sampai dengan 1 Oktober 2023 yakni sebesar 98,37% dari total alokasi bulan September.
Administered Prices
Komponen administered prices mengalami inflasi sebesar 0,23% (mtm) atau 1,99% (yoy). Rendahnya inflasi AP secara tahunan terjadi seiring hilangnya base year effect pada September 2022 yang mengalami peningkatan signifikan akibat penyesuaian harga BBM.
Sementara komponen inti mengalami inflasi sebesar 0,12% (mtm) atau 2,00% (yoy). Secara tahunan inflasi inti masih terjaga stabil dalam rentang target yaitu 3%±1 yang mengindikasikan daya beli masyarakat masih baik. Lebih lanjut, berdasarkan catatan Trading Economics, realisasi inflasi inti Indonesia merupakan salah satu yang terendah yaitu berada di peringkat 7 dari 83 negara.
“Ke depan, kita akan terus mewaspadai dan memonitor fenomena-fenomena domestik maupun global yang dapat berdampak terhadap inflasi. Di tengah berbagai tantangan yang dihadapi saat ini, komitmen dan sinergi bersama seluruh pihak baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Bank Indonesia akan terus diperkuat guna menjaga inflasi tetap stabil dan terkendali,” pungkas Menko Airlangga.
Advertisement
Waspada, 5 Risiko Ini Hantui Ekonomi Indonesia Jika Rupiah Terus Anjlok
Dalam beberapa pekan terakhir, nilai Rupiah kerap menunjukkan pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (USD). Terbaru, pada Selasa pagi (3/10) nilai tukar Rupiah terhadap USD melemah 0,26 persen atau 41 poin menjadi 15.571 per USD dari sebelumnya 15.530 per USD.
Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, ada 5 risiko yang berdampak pada ekonomi Indonesia dari pelemahan Rupiah.
“Pertama, harga barang impor akan lebih mahal, khususnya pangan dan sebabkan risiko imported inflation,” kata Bhima kepada Liputan6.com, Selasa (3/10/2023).
Hal ini berisiko membuat pelaku usaha tidak punya cara lain kecuali meneruskan biaya impor ke konsumen.
Risiko kedua, yaitu terjadinya arus modal yang keluar karena pelemahan rupiah yang persisten menunjukkan adanya risiko dalam negeri Indonesia.
“Investor akan lakukan mitigasi risiko dengan beralih ke aset lain,” jelas Bhima.
Ketiga, jumlah masyarakat miskin akan bertambah karena pelemahan kurs berarti naiknya beragam harga kebutuhan pokok.
Beras hingga Bawang Masih Ketergantungan Impor
Bhima mengingatkan, hampir sebagian besar pangan mulai dari beras, bawang putih, gula ketergantungan impornya tinggi dan sensitif terhadap pelemahan rupiah.
“Keempat, menyempitnya lapangan kerja terutama di sektor industri yang bahan baku impornya dominan,” sambungnya.
Hal ini berpontensi mendorong industri menurunkan kapasitas produksinya untuk hindari selisih kurs dari impor mesin dan bahan baku.
Terakhir, jumlah utang luar negeri akan bertambah sementara tidak semua pelaku usaha melakukan hedging. Bhima menyarankan, Bank Indonesia (BI) perlu dorong DHE yang masuk lebih banyak ke perbankan domestik.
“Komunikasi dengan eksportir bisa didorong lagi sehingga valas yang disimpan lebih banyak,” imbuhnya.
“Local currency settlement perlu diperluas ke berbagai negara mitra dagang lainnya,” tambahnya.
Advertisement