Liputan6.com, Jakarta - Laporan terbaru Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) menyebutkan, permintaan perumahan baru di China akan turun sekitar 50 persen untuk dekade berikutnya.
Hal itu dinilai akan membuat sulit China untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Laporan tersebut selesai pada akhir Desember, dirilis Jumat, 2 Februari 2024, demikian dikutip dari CNBC.
Baca Juga
IMF prediksi permintaan mendasar untuk perumahan baru di China akan turun 35 persen-55 persen seiring penurunan jumlah rumah tangga baru di perkoraan dan banyaknya inventaris properti yang belum selesai atau kosong.
Advertisement
"Melambatnya permintaan perumahan baru akan mempersulit penyerapan kelebihan persediaan, memperpanjang penyesuaian dalam jangka menengah dan bebani pertumbuhan,” demikian disebutkan dalam laporan itu.
Sektor real estate dan industri terkait menyumbang sekitar seperempat produk domestik bruto (PDB) China. Pasar properti terbaru yang menurun terjadi setelah tindakan keras China pada 2020 terhadap tingginya ketergantungan pengembang pada utang untuk bertumbuh.
Perwakilan China untuk IMF, Zhengxin Zhang menuturkan, prediksi penurunan rumah baru sebesar 50 persen melebih-lebihkan kemungkinan penurunan pasar.
Zhang menuturkan, permintaan perumahan di China akan tetap besar dan dukungan kebijakan akan mulai diberikan bertahap.
"Oleh karena itu, penurunan permintaan perumahan secara signifikan sangat kecil kemungkinannya terjadi,” tutur dia.
Laporan IMF membandingkan permintaan perumahan dan permulaan perumahan baru dari periode 2012-2021 dengan prediksi untuk 2024-2033.
Sektor real estate China tumbuh pesat selama beberapa dekade terakhir, mendorong pihak berwenang untuk memperingatkan agar tidak bertaruh pada lonjakan harga dan menekankan rumah adalah tempat tinggal bukan untuk spekulasi.
Sektor Properti China Hadapi Masalah
IMF menunjukkan pada 2010-an, porsi investasi perumahan terhadap PDB di China mendekati atau di atas tingkat puncak booming properti di negara-negara lain pada masa lalu.
"Koreksi besar di pasar properti, menyusul upaya pemerintah untuk menahan leverage pada 2020-2021, merupakan hal yang wajar dan perlu dilanjutkan,” demikian disebutkan dalam laporan IMF.
Sektor properti di China juga hadapi masalah. Tiga tahun terakhir terlihat pengembang yang memiliki utang jumbo yakni Evergrande hingga Country Garden gagal bayar utang dalam dolar Amerika Serikat yang dipegang oleh investor luar negeri. Pekan ini, pengadilan Hong Kong memerintahkan Evergrande untuk dilikuidasi.
Sejak akhir 2022, otoritas China telah mengambil langkah-langkah untuk meringankan pembatasan pembiayaan bagi pengembang dan pembeli rumah baru. Namun, upaya pemerintah pusat dan daerah mendukung sektor real estate belum signifikan menghentikan penurunan yang lebih luas di sektor ini.
"Penting bagi pemerintah pusat untuk memberikan peningkatan pembiayaan untuk menyelesaikan perumahan pra-penjualan yang belum selesai,” ujar Mission Chief for China, Asia, and Pacific Department IMF, Jain-Chandra.
Ia menambahkan, hal itu merupakan faktor lain yang hambat kepercayaan pasar. Kepercayaan konsumen menurun di tengah ketidakpastian pendapatan ke depan. Bursa saham China juga merosot sepanjang 2024.
Advertisement
Kebijakan Fiskal yang Proaktif
IMF mencatat otoritas China memandang kebijakan fiskal pada 2023 sebagai “proaktif” dan akan mempertahankan sikap itu pada tahun mendatang.
"Pihak berwenang sedang mengembangkan paket kebijakan untuk mencegah dan menyelesaikan risiko utang (pemerintah daerah),” disebutkan dalam laporan IMF.
Sementara itu, Bank Sentral China mengumumkan pekan lalu akan memangkas rasio persyaratan cadangan atau jumlah uang tunai yang harus disimpan bank pada 5 Februari 2024 sebesar 50 basis poin. Pemangkasan ini merupakan yang terbesar sejak 2021.
"Kami pikir ini adalah langkah ke arah yang benar, tetapi kami pikir pelonggaran kebijakan moneter tambahan diperlukan, terutama kebijakan suku bunga,” ujar Deputy Mission Chief for China, Asia dan Pasifik IMF, Nir Klein.
Sri Mulyani Sebut China Krisis Properti
Sebelumnya diberitakan, Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati menyampaikan kondisi terkini perekonomian global yang disinyalir akan terus melemah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Asumsi itu berasal dari proyeksi ekonomi global terbaru versi Bank Dunia (World Bank).
"World Bank perkirakan pertumbuhan ekonomi akan melambat dari sebelumnya 3 persen di 2022, menjadi hanya 2,6 persen pada 2023 YoY, dan kembali menurun jadi 2,4 persen pada 2024 ini," terang Sri Mulyani dalam sesi konferensi pers hasil rapat I tahun 2024 Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (30/1/2024).
"Jadi situasi ekonomi menurut Bank Dunia 2023 lebih lemah dari 2022, tahun 2024 juga lebih lemah dari 2023," imbuh Sri Mulyani.
Di tengah kondisi tersebut, perkembangan ekonomi di tiap-tiap negara besar pada 2023 cenderung berbeda. Sri Mulyani menyinggung Amerika Serikat, yang disinyalir tetap tumbuh kuat meskipun mengalami tekanan fiskal.
"Ekonomi Amerika Serikat tumbuh kuat, tapi tekanan fiskal khususnya beban pembayaran bunga utang dan rasio utang menjadi risiko utama ke depan," ungkap Sang Bendahara Negara.
Sebaliknya, Eropa dan China diprediksi masih mengalami pelemahan. Khususnya China, akibat krisis di sektor properti hingga pemerintah daerahnya yang terlilit utang.
"Di Eropa ekonomi masih melemah. Di China juga masih melambat akibat krisis sektor properti," kata Sri Mulyani.
"Kemarin Pengadilan Hong Kong pastikan salah satu perusahaan properti terbesar China, Evergrande alami kebangkrutan. Juga utang dari tingkat pemerintah daerah atau provinsi. Ini menyebabkan ekonomi Tiongkok cenderung melambat," tuturnya.
Advertisement