Beralih ke Energi Ramah Lingkungan, Industri Pelayaran RI Punya Sejumlah PR

Ketua Umum DPP INSA Carmelita Hartoto menuturkan, industri pelayaran Indonesia tengah menuju green shipping dengan pengembangan energi terbarukan sebagai alternatif bahan bakar kapal.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 16 Mar 2024, 20:28 WIB
Diterbitkan 16 Mar 2024, 20:28 WIB
Beralih ke Energi Ramah Lingkungan, Industri Pelayaran RI Punya Sejumlah PR
Pengurus Pusat Asosiasi Pengusaha Pelayaran Niaga Nasional Indonesia (DPP INSA) berkomitmen ikut serta mewujudkan green shipping dengan terus mendorong kesiapan dan ketersediaan alternatif energi bahan bakar ramah lingkungan bagi kapal (Dok. Kemehub)

Liputan6.com, Jakarta - Pengurus Pusat Asosiasi Pengusaha Pelayaran Niaga Nasional Indonesia (DPP INSA) berkomitmen ikut serta mewujudkan green shipping dengan terus mendorong kesiapan dan ketersediaan alternatif energi bahan bakar ramah lingkungan bagi kapal.

Komitmen ini disampaikan Ketua Umum DPP INSA Carmelita Hartoto saat menjadi panelis pada acara konferensi Asia Pasific Maritime (APM) 2024 di Singapura. Meski begitu, ia menyoroti kesiapan industri pelayaran di Tanah Air untuk menjemput green shipping.

"Industri pelayaran Indonesia tengah menuju green shipping dengan pengembangan energi terbarukan sebagai alternatif bahan bakar kapal. Hanya saja, kita masih harus terus berbenah, karena tantangannya juga cukup banyak,” kata Carmelita, Sabtu (16/3/2024).

Selain bahan bakar fosil, kata Carmelita, sektor pelayaran sebenarnya memiliki beberapa alternatif bahan bakar yang lebih ramah lingkungan. Sebut saja seperti biodiesel, LNG, amonia, metanol, hidrogen, nuklir dan listrik. 

"Masing-masing sumber energi ini mempunyai kelebihan dan kekurangan, baik dari segi keamanan dan risiko lingkungan, ketersediaan, infrastruktur bunkering, storage di dalam kapal, hingga kesiapan teknologi," imbuhnya.

Dari beberapa alternatif bahan bakar tersebut, jenis bio diesel, LNG dan listrik yang kesiapan dan ketersedian teknologinya paling mungkin tercapai untuk digunakan sebagai bahan bakar kapal saat ini, terutama di Indonesia.

Pemerintah sendiri telah mewajibkan penggunaan biodiesel untuk kapal laut dengan kandungan fame hingga 40 persen (B40). Biodiesel memiliki keunggulan karena ketersediaan stok yang lebih banyak dengan infrastruktur penunjang yang lebih berkembang.

"Tapi harganya lebih mahal, dan meningkatkan biaya perawatan karena membuat kapal lebih sering melakukan penggantian filter sebab penggunaan B40," ujar Carmelita.

 

Bahan Bakar LNG

Subholding Gas Pertamina terus memperluas utilisasi gas bumi melalui infrastruktur beyond pipeline di Kota Bontang, Kalimantan Timur.
PT Pertagas Niaga (PTGN), Subholding Gas menyuplai LNG perdana bagi industri di Kota Bontang, tepatnya ke PT Energi Unggul Persada (EUP) yang bergerak dalam bidang pengolahan minyak kelapa sawit. (Dok Pertamina)

Sementara itu, bahan bakar LNG menjadi salah satu bahan bakar alternatif kapal masa depan yang dapat mereduksi gas rumah kaca hingga 23 persen, dibandingkan bahan bakar berbasis minyak saat ini. 

Meski masih menghadapi sejumlah tantangan, Carmelita menyampaikan, layanan bunkering LNG juga terus dikembangkan oleh PGN (Perusahaan Gas Negara). Terminal Bunkering LNG direncanakan berada di Arun dan Bontang. Sedangkan LNG Bunkering kapal berpotensi dikembangkan di Batam, Tanjung Priok, Tanjung Perak dan beberapa pelabuhan lainnya. 

Carmelita menambahkan, saat ini sudah ada pilot project kapal penunjang kegiatan lepas pantai milik pelayaran nasional yang menggunakan dual fuel (bahan bakar minyak dan LNG), dengan lokasi kerja di Mahakam dengan mengisi bahan bakarnya di PHM (Pertamina Hulu Mahakam). 

Di sisi lain, pilot project pada kapal berbahan bakar listrik juga telah dimulai di Surabaya, Jawa Timur oleh kapal milik pemerintah. Kesuksesan pilot project ini akan dikembangkan di IKN (Ibu Kota Nusantara) Kalimantan Timur.

"Indonesia dapat mengacu pada beberapa negara yang lebih dulu dan lebih maju dalam pengembangan kapal bertenaga listrik ramah lingkungan. Beberapa negara tersebut seperti, Denmark, dan Selandia Baru. Bahkan Norwegia saat ini sedang mengembangkan bahan bakar energy hydrogen dan ammonia, untuk mencapai ambisi mereka menjadikan negara dengan zero-emission di tahun 2030," tuturnya.

Laut Indonesia Banyak Penjaganya, INSA Desak Jokowi Bikin Cost Guard

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pelayaran Niaga Nasional Indonesia (INSA), Carmelita Hartoto, menuntut pemerintah untuk segera mendirikan badan tunggal penjaga laut dan pantai
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pelayaran Niaga Nasional Indonesia (INSA), Carmelita Hartoto, menuntut pemerintah untuk segera mendirikan badan tunggal penjaga laut dan pantai

Sebelumnya diberitakan, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pelayaran Niaga Nasional Indonesia (INSA), Carmelita Hartoto, menuntut pemerintah untuk segera mendirikan badan tunggal penjaga laut dan pantai atau Sea and Cost Guard.

Pasalnya, kebijakan tersebut masuk sebagai salah satu elemen guna mendukung visi Indonesia Emas 2045. Khususnya dalam mendongkrak kontribusi ekonomi maritim terhadap produk domestik bruto (PDB) di tahun tersebut.

"Isu-isu terutama dari maritim ini urusan cost guard. Ini tentunya sudah dibocarakan di mana-mana, sebagai satu-satunya badan, lembaga yang bertanggungjawab pada presiden untuk menegakan fungsi peraturan di laut, sebagai yang harus segera diwujudkan," ujar Carmelita dalam rangkaian acara Indonesia Maritime Expo (IME) 2023 di Jiexpo Jakarta, Selasa (17/10/2023).

"Kita sudah mengapresiasi tentunya yang sudah dilakukan pemerintah. Tapi mungkin harus dipercepat, jangan sampai tumpang tindih lagi karena sudah capek kalau penjaga lautnya banyak," tegas dia.

Carmelita lantas meminta Indonesia berkaca kepada sejumlah negara tetangga di kawasan ASEAN, yang memperketat syarat masuk bagi kapal pelayaran ke negaranya.

"Apakah kita bijak kalau harus membuka. Wong negara lain aja tidak, masa kita buka. Jepang, Amerika, Eropa, semua tidak buka. Walaupun ASEAN di laut yang sama, apakah kita punya kebijakan yang sama dengan negara tetangga? Belum," ungkap dia.

 

 

Pelaku Industri Maritim Dipersulit

Di luar pembentukan Sea and Cost Guard, Carmelita menilai kebijakan pemerintah lain juga masih mempersulit para pelaku industri maritim. Sebut saja bunga pembiayaan dari perbankan yang masih tinggi, hingga urusan perpajakan.

Menurut dia, kemudahan dari pemerintah jadi salah satu syarat agar sektor industri pelayaran Tanah Air bisa bersaing dengan negara lain.

"Negara tetangga banyak diberi kemudahan. Tax aja kita belum. Kita contek negara tetangga dulu baru bersaing, yang melepas tax yang banyak itu. Sehingga kita mulai bersiap-siap agar kita lebih baik lagi di perairan kita," tuturnya.

Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya