Liputan6.com, Jakarta - Bank Dunia mengungkapkan pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang di Asia Timur dan Pasifik melampaui pertumbuhan negara-negara lain di dunia.
Namun, Bank Dunia mengingatkan, pertumbuhan di kawasan ini kemungkinan akan melambat pada 2024, di tengah tantangan yang dihadapi Tiongkok dan ketidakpastian kebijakan yang lebih luas.
Baca Juga
"Wilayah ini masih unggul dibandingkan negara-negara lain di dunia, namun kinerjanya masih kurang dibandingkan potensi yang dimilikinya," kata Kepala Ekonom Asia Timur dan Pasifik di Bank Dunia, Aaditya Mattoo, dikutip dari CNBC International, Rabu (3/4/2024).
Advertisement
Laporan terbaru Bank Dunia menunjukkan, pertumbuhan di Asia-Pasifik diperkirakan akan turun menjadi 4,5% tahun ini, melambat dari ekspansi tahun lalu sebesar 5,1%.
"Prospek ini memiliki risiko penurunan, yang mencakup perlambatan ekonomi global yang lebih besar dari perkiraan, kenaikan suku bunga yang lebih tinggi di negara-negara besar, meningkatnya ketidakpastian di seluruh dunia mengenai kebijakan ekonomi, dan meningkatnya ketegangan geopolitik," kata laporan itu.
Pelemahan di Tiongkok Masih Berlanjut
Meskipun Tiongkok telah menetapkan target pertumbuhan resmi sekitar 5% pada 2024, Bank Dunia memproyeksikan ekonomi terbesar di Asia itu akan melambat menjadi 4,5% tahun ini, melambat dari ekspansi tahun lalu sebesar 5,2%.
Melambatnya pertumbuhan Tiongkok disebabkan oleh menurunnya kepercayaan konsumen di dalam negeri, tingginya tingkat utang, dan merosotnya sektor real estat.
Matoo mengatakan, hal ini telah menyebabkan relokasi produksi dan investasi dari Tiongkok yang pada akhirnya dapat berdampak pada produksi di negara lain seperti Vietnam dan Meksiko
"Tiongkok telah menjadi sangat penting bagi kawasan ini, sebagai sumber input, sebagai tujuan konsumsi produk bernilai tambah di kawasan ini, dan juga sebagai sumber investasi,” beber Matoo dalam Street Signs Asia CNBC.
Tantangan Lainnya
Laporan Bank Dunia juga menyoroti banyak negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik bergantung pada permintaan eksternal untuk pertumbuhan ekspor.
"Pentingnya Tiongkok sebagai tujuan utama peningkatan nilai tambah domestik di kawasan ini telah meningkat secara signifikan sejak awal tahun 2000an," kata laporan tersebut dengan mengutip negara-negara seperti Malaysia, Thailand, Vietnam dan Laos.
"Beberapa negara di kawasan ini juga terpapar melalui hubungan perdagangan dengan aktivitas ekonomi di AS dan UE (Kamboja, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam)," jelas Bank Dunia.
Bank Dunia menyebut, terdapat faktor-faktor lain yang membatasi pertumbuhan di wilayah ini.
"Perdagangan mulai pulih secara global, namun pada saat yang sama, kita melihat serentetan kebijakan proteksionis," kata Mattoo.
"Kami melihat pelonggaran kondisi keuangan seperti dampak inflasi tampaknya sudah bisa dijinakkan, namun pada saat yang sama, kami melihat tingkat suku bunga yang tinggi dan utangnya jauh lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi," ungkapnya
Ia menambahkan bahwa “tindakan kebijakan yang berani” diperlukan untuk melepaskan persaingan, meningkatkan infrastruktur, dan mereformasi pendidikan, yang dapat meningkatkan perekonomian kawasan.
Advertisement
Katalis Pertumbuhan
Sementara itu, jika Tiongkok mampu menegosiasikan peralihannya menuju pertumbuhan berkualitas tinggi dan berkelanjutan, serta menghindari proteksionisme dengan pemain lain di kawasan ini seperti Malaysia, Indonesia, Filipina, dan Vietnam, menurut Matoo, hal ini dapat menjadi katalis kuat bagi pertumbuhan.
Pekan lalu, ketika berbicara di Forum Pembangunan Tiongkok di Beijing, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional Kristalina Georgieva berpendapat bahwa "reformasi pro-pasar" dapat memacu pertumbuhan Tiongkok "jauh lebih cepat dibandingkan skenario status quo."
IMF Ramal Pertumbuhan Ekonomi China Bisa Melesat, Ini Syaratnya
Sebelumnya diberitakan, dengan paket reformasi pro-pasar yang komprehensif, perekonomian China diprediksi akan tumbuh jauh lebih cepat dibandingkan perkiraan penurunan sebelumnya. Hal itu diungkapkan oleh Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF), Kristalina Georgieva.
"Pertumbuhan tambahan ini berarti perluasan ekonomi riil sebesar 20 persen selama 15 tahun ke depan, dalam istilah saat ini, seperti menambah USD 3,5 triliun pada perekonomian China," kata Georgieva dalam pidatonya di Forum Pembangunan China, dikutip dari Channel News Asia, Senin (25/3/2024).
Georgiva pun menyerukan langkah-langkah untuk meningkatkan keberlanjutan sektor properti, dan mengurangi risiko utang.
Dia menuturkan, langkah tegas untuk mengurangi stok perumahan yang belum selesai dan memberikan lebih banyak ruang untuk koreksi berbasis pasar di sektor properti, dapat mempercepat solusi permasalahan sektor properti saat ini dan meningkatkan kepercayaan konsumen dan investor.
China juga perlu lebih bergantung pada konsumsi domestik, kata Georgieva.
Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan pendapatan, meningkatkan daya beli keluarga dan memperluas sistem jaminan sosial, termasuk sistem pensiun, namun tetap bertanggung jawab secara fiskal.
Dalam kesempatan itu, Georgiva juga mendorong China agar membangun kerangka peraturan teknologi Kecerdasan Buatan (AI) yang kuat, seraya mencatat bahwa China memimpin negara-negara berkembang dalam hal kesiapan AI.
Sementara itu, dalam pernyataan terpisah, Perdana Menteri China Li Qiang mengatakan bahwa pemerintahannya akan lebih mengoptimalkan kebijakan properti.
Awal bulan ini, PM Li Qiang mengumumkan sasaran pertumbuhan tahunan sekitar 5 persen pada tahun ini, sebuah target yang menurut beberapa analis ambisius.
China Segera Keluarkan Standarisasi Industri AI
Pada bulan Januari 2024, Kementerian Perindustrian China mengeluarkan rancangan pedoman untuk standarisasi industri AI, dan berencana menerapkan standar nasional dan industri pada tahun 2026 mendatang.
"(China) memiliki potensi besar dalam memajukan ekonomi hijau", kata Direktur Pelaksana IMF.
Advertisement