Liputan6.com, Jakarta Pelemahan nilai tukar rupiah yang kini berada di atas 16.000 per dolar AS kian diwaspadai. Pasalnya, kurs tersebut mendekati rekor terparah sepanjang sejarah saat terjadi krisis moneter 1998, yang tembus 16.800 per dolar AS.
Ekonom sekaligus Wakil Direktur INDEF, Eko Listiyanto, memprediksi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat masih akan terus berlanjut. Terlebih dengan adanya konflik antara Israel dan Iran yang Tengah memanas di kawasan Timur Tengah.
"Ke depan kalau kemudian eskalasi konflik ini tidak bisa dimoderasi, memang risiko-risiko pelemahan nilai tukar lebih rupiah lanjut masih akan terjadi. Ini yang menurut saya risiko yang sudah ada di depan mata dan harus diantisipasi ke depan, karena potensi pelemahan lebih lanjut masih kelihatan sekali," ujarnya dalam sesi webinar, Senin (22/4/2024).
Potensi pelemahan itu salah satunya dilihat dari aspek penguatan dolar AS, yang menurut Eko sangat signifikan. "Kalau kita melihat dolar indeks sepanjang 2024 ini, itu sudah naik 4,7 persen. Ini menggambarkan betapa mulai kuatnya dolar sebagai mata uang paling dicari di global," imbuhnya.
Advertisement
Bisa Tembus 16.800 per Dolar AS
Bahkan, Eko menduga kurs rupiah bisa tembus hingga 16.800 per dolar AS jika Bank Indonesia tidak segera melakukan intervensi. Pasalnya, nilai tukar mata uang erat berkaitan dengan kebijakan fiskal dan moneter, sekaligus tingkat kepercayaan pasar.
"Nilai tukar rupiah, walaupun ini saya menduganya tidak akan, katakan lah bisa sampai 16.800, ya kalau BI intervensinya jarang-jarang dan mungkin ada kebijakan pemerintah yang hanya bicara populisme aja, mungkin bisa saja," ungkapnya.
Oleh karenanya, ia meminta bank sentral menahan rupiah di level psikologis Rp 16.500 per dolar AS, setidaknya untuk beberapa bulan ke depan.
"Level psikologis rupiah sekarang ini yang akan dilihat, ya Rp 16.500. Kalau sampai tembus 16.500, untuk ke 16.800 itu akan lebih cepat lagi. Tapi kalau kita bisa tahan ini supaya 1-2 bulan ke depan enggak sampai 16.500, maka nanti ada ruang untuk kita bernafas, katakan lah nanti turun kembali," kata Eko.
Korbankan Cadangan Devisa
Namun, Bank Indonesia mau tak mau disebutnya harus mengorbankan cadangan devisa tak kecil untuk menjaga stabilisasi nilai tukar rupiah. Seperti dilakukan pada Februari-Maret 2024 lalu, dimana posisi cadangan devisa turun USD 4 miliar menjadi USD 140,4 miliar.
"Tentu konsekuensi menahan adalah intervensi langsung rupiah ke market, dan itu pasti akan mengorbankan cadangan devisa," ucap Eko.
Eko menyebut, sebetulnya masih ada ruang bagi Bank Indonesia untuk melakukan sejumlah intervensi, namun tidak cukup hanya dengan intervensi pasar
"Sampai selevel apa, dugaan saya sih kalau misalkan katakan lah dalam sebulan USD 4 miliar, itu masih dalam konteks oke, karena cadangan devisa kita USD 140 miliar," sambung dia.
"Sehingga kebijakan fiskal akan membantu. Kalau kebijakan fiskalnya hanya populis, sekali lagi, itu nanti akan membuat confident yang dibangun kebijakan moneter melalui intervensi pasar bisa tidak maksimal," tuturnya.
Advertisement