Liputan6.com, Jakarta - Dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-17, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan tantangan global ekonomi Indonesia dalam 10-15 tahun terakhir.
Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, Sri Mulyani mengatakan, Indonesia tidak terlepas dari dinamika dunia yang harus terus diwaspadai dan dikelola.
Baca Juga
"Beberapa guncangan global hebat yang mempengaruhi Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPF) dalam 10 tahun atau 15 tahun terakhir; seperti krisis keuangan global di Amerika Serikat dan Eropa yang terjadi pada tahun 2008-2009 yang nyaris melumpuhkan sistem keuangan dunia dan menyebabkan kontraksi ekonomi global sebesar 0,14%," papar Sri Mulyani dalam pidato di DPR, yang disiarkan pada Senin (20/5/2024).
Advertisement
Ini merupakan kontraksi pertama kali sejak Great Dipression 1932. Pada Oktober 2008, Yield Surat Berharga Negara (SBN) Indonesia dengan tenor 10 tahun bahkan melonjak sangat tinggi- mencapai 21%. Sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun tajam sebesar 50%. Kepercayaan pasar merosot.
Indonesia kemudian melakukan penyesuaian kebijakan ekonomi makro dan fiskal, hingga dampak guncangan global ke ekonomi dapat diminimalkan dan ekonomi Indonesia tetap mampu tumbuh pada 4,6% pada tahun 2009.
Untuk mencegah kelumpuhan pasar keuangan global, pemerintah dan otoritas Bank Sentral Amerika Serikat dan Eropa melakukan penyelamatan dan stabilitas sistem keuangan dan perekonomiannya, melalui menurunkan suku bunga secara drastis mendekati 0%, menggelontorkan likuiditas AS dan stimulus ekonomi untuk meminimalkan dampak negatif krisis keuangan global.
"Krisis keuangan global menjadi contoh ujian berat bagi kemampuan KEM PPKF untuk mengatasinya. Suku bunga global yang sangat rendah, ditambah likuiditas hard currency yang melimpah menyebabkan lonjakan harga komoditas, seiring dengan permintaan yang pulih dengan pemulihan ekonomi global," jelas Sri Mulyani.
Dampak Positif
Namun, Sri Mulyani menambahkan, hal tersebut juga memiliki dampak positif bagi negara berkembang termasuk Indonesia.
Dampak positif itu tercermin dari "rata-rata pertumbuhan ekonomi negara berkembang melonjak menjadi 5,9% sepanjang tahun 2010-2013. Ekonomi Indonesia saat itu juga mampu tumbuh pada kisaran 6%, didorong oleh permintaan domestik dan ekspor yang kuat," bebernya.
Namun, kenaikan itu tidak berlangsung lama, ketika bank sentral AS dan Eropa mulai mengetatkan kembali kebijakan moneter dan berencana menaikkan suku bunga sejalan dengan pulihnya ekonomi, arus modal keluar dari negara emerging dan negara berkembang, nilai tukar mengalami depresiasi hebat, hingga mengancam stabilitas sistem keuangan dan ekonomi banyak negara.
"Indonesia dengan defisit transaksi berjalan di atas 3% pada tahun 20213 dianggap rapuh dan masuk dalam kelompok the fragile 5, bersama-sama dengan Turki, Brazil, Afrika Selatan, dan India," Sri Mulyani menyoroti.
Advertisement
Target Angka Kemiskinan
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa Pemerintah menargetkan untuk menekan angka kemiskinan antara 7%-8% untuk sasaran pembangunan tahun 2025 mendatang.
"Efektivitas kebijakan fiskal dalam mendukung akselerasi pertumbuhan ekonomi, untuk meningkatkan kesejahteraan dilihat dari berbagai target tahun 2025. Yaitu penurunan tingkat pengangguran pada kisaran 4,5% hingga 5%, angka kemiskinan diperkirakan berada pada rentang 7%-8%," papar Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-17, disiarkan pada Senin (20/5/2024).
"Rasio Gini (Indeks) membaik dalam rentang 0,379-0382. Indeks Modal Manusia ditargetkan pada 0,56, nilai tukar petani dan nilai tukar nelayan pada range 113 hingga 115 dan 104 hingga 105," jelasnya.
Pada 2025 mendatang, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan mencapai 5,1% hingga 5,5%. Hal tersebut ditopang oleh terkendalinya inflasi, kelanjutan dan perluasan hilirisasi, dan pengembangan industri kendaraan listrik serta digitalisasi dan agenda perubahan iklim melalui ekonomi dan energi hijau.
"Laju pertumbuhan diharapkan menjadi fondasi kuat untuk lebih tinggi pada tahun yang akan datang," tutur dia.
Pertimbangan risiko dan ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi, Yield SBN Tenor 10 tahun diperkirakan pada kisaran 6,9% hingga 7,3% nilai tukar Rupiah antara Rp.15.300 hingga Rp. 16.000 per USD, dan inflasi diperkirakan kisaran 1,5% hingga 3,5%.
"Dengan mencermati tensi geopolitik dan berlanjutnya ketegangan global, harga minyak mentah Indonesia diperkirakan pada kisaran USD 75 hingga 85 per barel. Lifting minyak pada 580.000 hingga 600.000 dan listing gas mencapai 1.003 hingga 1.047 juta minyak per hari," tambah Sri Mulyani.
Sri Mulyani: Inflasi Pangan jadi Tantangan Capai Target 0% Kemiskinan Ekstrem di 2024
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan, pihaknya tetap waspada terhadap komponen inflasi terutama dari faktor pangan.
Sri Mulyani mengatakan, kecenderungan volatilitas pangan yang memberikan kontribusi terhadap inflasi harus selalu diperhatikan, baik karena faktor musim seperti El Nino yang terjadi akibat perubahan iklim dan juga dari faktor permintaan.
Salah satu pangan yang menjadi perhatian Pemerintah dalam beberapa waktu terakhir, adalah beras.
“Bahkan tadi juga sedang dirapatkan oleh Bapak Presiden (Joko Widodo) yang menggambarkan juga bahwa kenaikan dari harga beras, baik karena pupuk juga harganya melonjak dengan adanya perang di Ukraina dan juga nilai tukar dalam hal yang mengalami perubahan, juga dari sisi faktor musim yang menjadi faktor penentu terhadap produksi dalam negeri dan secara global,” ungkap Sri Mulyani dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR, disiarkan pada Selasa (19/3/2024).
Maka dari itu, lanjut Sri Mulyani, pemerintah telah melakukan langkah dengan pengadaan beras luar negeri melalui impor, juga melakukan stabilisasi melalui intervensi dari distribusi harga pangan.
Kemiskinan Ekstream
Langkah-langkah ini dilakukan karena harga pangan akan sangat menentukan sekali terhadap kemiskinan, yang ditargetkan pemerintah untuk menekan angka kemiskinan ekstrem hingga 0 persen pada akhir tahun 2024.
“Jadi ini menjadi salah satu tantangan,” kata Menkeu.
“Meskipun headline inflation dan terutama juga Core inflation-nya masih relatif rendah, namun harus mewaspadai terhadap komponen inflasi yang berasal dari pangan yang pasti akan menggerus terutama kelompok paling miskin ini yang harus kita lihat terhadap tujuan pemerintah untuk menurunkan kemiskinan terutama ekstrim pada level mendekati 0 persen,” imbuhnya.
Advertisement