Liputan6.com, Jakarta - Indonesia berpotensi menjadi negara impor gas sepenuhnya pada 2040, dengan harga gas yang tidak stabil dibanding energi terbarukan yang semakin kompetitif dan rendah emisi.
Laporan terbaru Global Energy Monitor (GEM) mengungkapkan, ekspansi pembangkit listrik tenaga gas dan fasilitas ekspor-impor gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) di Asia Tenggara, termasuk Indonesia akan menjebak wilayah ini terus bergantung pada bahan bakar fosil yang harganya tidak stabil.
Baca Juga
Tak hanya itu, langkah ini juga akan menurunkan investasi energi terbarukan di Asia Tenggara.
Advertisement
Project Manager for Asia Gas Tracker Warda Ajaz menjelaskan, permintaan energi terus meningkat di seluruh wilayah Asia Tenggara seiring dengan bertumbuhnya ekonomi, tetapi meningkatkan produksi gas bukan solusi jangka panjang.
"Memenuhi kebutuhan dengan energi terbarukan yang lebih hemat biaya, akan mengamankan wilayah Asia Tenggara dari harga gas yang tidak stabil, dan merupakan jalur yang lebih hijau ke depannya," kata Warda Ajaz, dalam laporan tertulis, Kamis (30/5/2024).
Bisa Jadi Importir
Mengacu laporan bertajuk Southeast Asia’s Energy Cross Roads: The Cost of Gas Expansion versus The Promise of Renewable, Indonesia berpotensi menjadi negara impor gas sepenuhnya pada 2040.
Menurut laporan itu, Indonesia memang memiliki cadangan gas terbesar ketiga di Asia Pasifik, namun produksi gasnya terus turun setelah mencapai puncak pada 2010.
Di sisi lain, pemanfaatan gas domestik kini telah melampaui volume ekspor, dan diperkirakan terus naik menjadi 24 persen dalam bauran energi 2050. Pada saat itu, impor gas Indonesia diproyeksikan menyentuh lebih dari 30 persen dari total kebutuhan, seiring dengan rencana ekspansi infrastruktur gas di Indonesia.
Â
Ekspansi Infrastruktur
Data GEM menunjukkan, ada 14 gigawatt (GW) proyek pembangkit listrik tenaga gas dalam pengembangan, dengan hampir 5 GW di antaranya memasuki masa konstruksi. Sebagai negara pengekspor LNG terbesar keenam dunia, Indonesia punya fasilitas ekspor LNG berkapasitas 23 juta ton per tahun (mtpa) yang telah beroperasi dan 12 mtpa dalam pengembangan.
"Indonesia tercatat memiliki fasilitas impor LNG terbesar di Asia Tenggara, dengan kapasitas 15 mtpa sudah beroperasi dan 2,3 mtpa dalam pengembangan," kata Ajaz.
Adapun Indonesia bukan satu-satunya di Asia Tenggara yang ekspansi infrastruktur gas besar-besaran. GEM mencatat, terdapat total 100 GW pembangkit listrik tenaga gas, 47 mtpa fasilitas impor LNG, dan 16,7 mtpa fasilitas ekspor LNG, yang sedang dikembangkan di Asia Tenggara.
Biaya Pembangunan seluruh fasilitas tersebut mencapai USD 220 miliar. Indonesia bersama Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Thailand berada di garis terdepan dalam ekspansi ini. Padahal, mengacu laporan GEM, Asia Tenggara bisa memenuhi pertumbuhan energinya dengan energi terbarukan, yang harganya semakin kompetitif dan emisinya lebih rendah dari gas.
Â
Advertisement
Energi Surya
Rata-rata biaya pembangkitan listrik (LCOE) energi surya di Asia Tenggara saat ini berkisar USD 70-95 per megawatt hour (MWh), dan energi angin USD 105-135 per MWh, dibandingkan gas USD 80-125 per MWh.
"Biaya energi surya dan angin diperkirakan turun signifikan jika Asia Tenggara sukses mengembangkan energi surya dan angin secara masif," imbuh Ajaz.
Rencana pengembangan energi surya dan angin di Asia Tenggara, jika berhasil dibangun, akan menghasilkan listrik 450 terawatt hour (TWh) per tahun. Itu setara 2/3 proyeksi permintaan listrik di wilayah ini pada 2030.
Selain itu, GEM menegaskan, pengembangan energi terbarukan domestik yang dilengkapi baterai penyimpanan energi menawarkan kesempatan bagi negara Asia Tenggara untuk terbebas dari tekanan pergerakan harga gas di pasar global.