Ekonom Ingatkan Risiko Indonesia yang Makin Bergantung ke China

Ekonom Senior lembaga riset ekonomi Bright Institute, Awalil Rizky menilai Indonesia memiliki risiko lebih tinggi karena China merupakan mitra ekonomi yang terpenting.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 20 Nov 2024, 17:02 WIB
Diterbitkan 20 Nov 2024, 16:45 WIB
Ekonom Ingatkan Risiko Indonesia yang Makin Bergantung ke China
Indonesia dinilai akan semakin bergantung dengan China dari segi perdagangan, investasi, dan utang. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia dinilai akan semakin bergantung dengan China dari segi perdagangan, investasi, dan utang.  Sebaliknya, posisi Indonesia bagi China dianggap cukup penting tetapi tidak terlalu signifikan untuk menjadi penentu kondisi perekonomiannya.  

Hal itu diungkapkan oleh Ekonom Senior lembaga riset ekonomi Bright Institute, Awalil Rizky pada webinar yang digelar pada Selasa, 19 November 2024.

"Dari sisi risiko, Indonesia memiliki risiko lebih tinggi karena China merupakan mitra ekonomi yang terpenting dengan porsi yang amat besar. Sedangkan bagi China, Indonesia hanya cukup penting, namun tidak akan menentukan kondisi perekonomiannya,” ujar Awalil Rizky, dikutip Rabu (20/11/2024).

Awalil menuturkan, dari sisi perdagangan, China merupakan negara tujuan ekspor tertinggi yang porsinya mencapai 25,09 persen dari seluruh total ekspor pada 2023. 

Porsi ini jauh lebih tinggi dari negara di posisi kedua yakni Amerika Serikat yang hanya 8,98 persen dari seluruh ekspor Indonesia.

Di sisi lain, meskipun mengimpor 28,34 persen dari seluruh total impor batang China, RI hanya berkontribusi tak lebih dari 3,2 persen bagi seluruh impor China.

"Dan kalau kita lihat dari karakteristik barang yang diekspor, hampir seluruh barang yang Indonesia ekspor ke China adalah barang yang tak terbarukan seperti feronikel dan batu bara. Sedangkan barang yang diekspor dari China sangat beragam dan terdiversifikasi, dari smartphone hingga bawang putih,” papar Awalil. 

"Jadi ekspor oleh China jauh lebih sustainable karena China bisa mengekspor hampir seluruh kebutuhan Indonesia, dan jumlahnya terus meningkat. Inilah yang membuat secara risiko, ke depannya Indonesia akan semakin bergantung dengan China namun China tidak akan terlalu membutuhkan Indonesia” ia menambahkan.

Dampak Harga Komoditas

Neraca Ekspor Perdagangan di April Melemah
Aktifitas kapal ekspor inpor di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (26/5). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus 1,24 miliar . (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Selain itu, besarnya ekspor pada komoditas hasil tambang tersebut membuat surplus atau defisitnya neraca perdagangan Indonesia terhadap China menjadi sangat bergantung pada kondisi harga komoditas global dibandingkan kapasitas produksi Indonesia. 

"Jika harga komoditas turun 10% saja, maka surplus bisa langsung berubah menjadi defisit,” ungkap Awalil.

Adapun, Direktur Riset Bright Institute Muhammad Andri Perdana mengungkapkan bahwa perusahaan-perusahaan Indonesia yang mengekspor feronikel ke China pemilik dan pemegang sahamnya tidak lain dari China. 

"Feronikel merupakan barang yang paling banyak diekspor Indonesia ke China yakni mencapai 23,02 persen dari seluruh ekspor. Feronikel inilah yang paling besar berkontribusi dalam menyeimbangkan neraca perdagangan Indonesia dengan China," ujar dia 

"Namun perlu diingat, hampir seluruh smelter nikel di Indonesia sejatinya dikuasai oleh China. Jadi walaupun secara perhitungan berasal dari Indonesia, namun secara kepemilikan dikuasai oleh pengusaha China,” tambahnya.

Peran Investasi China di Indonesia

Ilustrasi investasi
Ilustrasi investasi. (Foto: Freepik/Funtap)

Selain itu Bright Institute juga menyoroti peran investasi China ke Indonesia.  Kementerian Investasi mencatat, Penanaman Modal Asing (PMA) terbesar di Indonsia berasal dari Singapura, namun jika PMA dari Hong Kong, yang mana menurut Awalil selama beberapa tahun terakhir semakin terintegrasi dengan Beijing, maka jumlah keduanya mencapai 28% dari total PMA di Indonesia.

"Nilai ini tentu sangat dominan. Dan China juga dikabarkan mulai tertarik berinvestasi di bidang hilirisasi pertanian dan perikanan, seperti dalam rumput laut, perikanan, dan bibit unggul padi. Hal ini yang bisa jadi sangat diinginkan oleh pemerintahan Prabowo ke depan," beber Awalil.

Menurut Bright Institute, investasi China selama ini memiliki karakteristik berbeda dengan investasi dari negara lain, baik itu dalam transparansi proyek kerja sama terhadap publik sampai keperluan tenaga kerja asing (TKA). 

"Banyaknya keperluan TKA ini sebenarnya bisa dijelaskan dari kebutuhan China sendiri yang juga ingin mengurangi tingkat pengangguran di negaranya,” cetus Awalil.

Bright Institute Ingatkan Lonjakan Utang Indonesia ke China

Selain itu, Bright Institue juga menilai utang Indonesia ke China juga akan semakin membengkak melanjutkan tren yang berlangsung selama pemerintahan Jokowi. 

"ULN (Utang Luar Negeri) dari China ini hampir seluruhnya adalah ULN kepada swasta, yakni sekitar 94 persen. Hanya sekitar 5 persen merupakan utang kepada pemerintah. Jadi mayoritas berbentuk B2B (business to business). Nilainya tumbuh pesat dari 6,88 miliar USD di 2014 menjadi 21,14 miliar USD per September 2024,” kata Awalil. 

Namun, perlu diperhatikan ULN swasta ini termasuk utang kepada BUMN dan mayoritas didanai oleh bank BUMN China. "Dan sebagaimana kita lihat kasusnya pada pendanaan proyek kereta cepat, APBN masih bisa diminta untuk menjamin pembayaran utang tersebut walaupun statusnya B2B sekalipun,” imbuhnya.

 

Infografis Jurus Pemerintahan Prabowo - Gibran Capai Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Jurus Pemerintahan Prabowo - Gibran Capai Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya