Indonesia bisa dibilang gudang para seniman dunia yang melahirkan ragam karya seni bernilai tinggi. Sayangnya, peraturan pajak yang diterapkan negara ini belum sepenuhnya mendukung produk seni lokal untuk masuk ke kancah internasional.
Kondisi tersebut dikeluhkan oleh salah seorang kolektor lukisan, Tomy. Saat ditemui dalam sebuah kunjungan galeri lukisan, dia menuturkan peraturan untuk barang-barang seni para seniman Indonesia, seperti lukisan yang masuk dalam wilayah abu-abu.
"Di Indonesia, tidak ada kejelasan aturan untuk barang-barang seni, seperti lukisan. Jadi masih area abu-abu (grey) semua, termasuk soal pajak lukisan. Berbeda dengan Singapura," ungkap Tomy saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, seperti ditulis Minggu (11/8/2013).
Di tanah air, lukisan dikenakan pajak hingga 30% dari harga jual, mengingat produk seni itu dikategorikan sebagai barang mewah. Tomy bilang, semakin mahal harga jual lukisan, maka semakin tinggi besaran pajaknya.
Hal ini berbeda jauh dengan aturan pajak di Singapura. Negeri Singa tersebut memberlakukan pajak sebesar 7% untuk barang seni, termasuk lukisan.
"Mereka (Singapura) tidak mau pusing, jadi semuanya dikenakan pajak yang sama. Misalnya harga lukisan Rp 10 juta dengan yang Rp 100 juta, pajaknya sama 7%. Nah kalau seperti ini kan jelas," papar dia.
Yang paling memberatkan, menurut Tomy, terkait biaya keluar masuk lukisan yang akan ikut dalam pameran di luar negeri. Pemilik galeri tetap dikenakan biaya cukup besar meskipun lukisan tersebut belum laku terjual.
"Saat barang dibawa kembali ke Indonesia sangat susah prosedurnya dan harus membayar biaya masuk. Padahal namanya belum laku ya tidak dikenakan biayalah. Tapi kalau tidak bayar, barang itu bakal susah keluar ketika berada di bandara dan pelabuhan," terangnya.
Dia juga mengeluhkan, waktu bongkar muat kapal di pelabuhan (dwelling time) yang masih memakan waktu dua pekan dan jauh dari yang ditargetkan selama 4 hari. Kondisi ini sangat merugikan pengusaha dari semua sisi.
Tomy mencontohkan, terkait masalah dwelling time yang belum terlihat hasil secara konkret dari upaya pemerintah. Padahal persoalan itu sudah terjadi sejak lama.
"Kalau begini terus, produk-produk lokal tidak bisa kompetitif, misalnya dengan Singapura. Walaupun negaranya kecil, tapi mereka punya sistem dan peraturan yang bagus dan jelas. Pelabuhan mereka pun jauh lebih besar dari Indonesia," pungkas dia. (Fik/Igw)
Kondisi tersebut dikeluhkan oleh salah seorang kolektor lukisan, Tomy. Saat ditemui dalam sebuah kunjungan galeri lukisan, dia menuturkan peraturan untuk barang-barang seni para seniman Indonesia, seperti lukisan yang masuk dalam wilayah abu-abu.
"Di Indonesia, tidak ada kejelasan aturan untuk barang-barang seni, seperti lukisan. Jadi masih area abu-abu (grey) semua, termasuk soal pajak lukisan. Berbeda dengan Singapura," ungkap Tomy saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, seperti ditulis Minggu (11/8/2013).
Di tanah air, lukisan dikenakan pajak hingga 30% dari harga jual, mengingat produk seni itu dikategorikan sebagai barang mewah. Tomy bilang, semakin mahal harga jual lukisan, maka semakin tinggi besaran pajaknya.
Hal ini berbeda jauh dengan aturan pajak di Singapura. Negeri Singa tersebut memberlakukan pajak sebesar 7% untuk barang seni, termasuk lukisan.
"Mereka (Singapura) tidak mau pusing, jadi semuanya dikenakan pajak yang sama. Misalnya harga lukisan Rp 10 juta dengan yang Rp 100 juta, pajaknya sama 7%. Nah kalau seperti ini kan jelas," papar dia.
Yang paling memberatkan, menurut Tomy, terkait biaya keluar masuk lukisan yang akan ikut dalam pameran di luar negeri. Pemilik galeri tetap dikenakan biaya cukup besar meskipun lukisan tersebut belum laku terjual.
"Saat barang dibawa kembali ke Indonesia sangat susah prosedurnya dan harus membayar biaya masuk. Padahal namanya belum laku ya tidak dikenakan biayalah. Tapi kalau tidak bayar, barang itu bakal susah keluar ketika berada di bandara dan pelabuhan," terangnya.
Dia juga mengeluhkan, waktu bongkar muat kapal di pelabuhan (dwelling time) yang masih memakan waktu dua pekan dan jauh dari yang ditargetkan selama 4 hari. Kondisi ini sangat merugikan pengusaha dari semua sisi.
Tomy mencontohkan, terkait masalah dwelling time yang belum terlihat hasil secara konkret dari upaya pemerintah. Padahal persoalan itu sudah terjadi sejak lama.
"Kalau begini terus, produk-produk lokal tidak bisa kompetitif, misalnya dengan Singapura. Walaupun negaranya kecil, tapi mereka punya sistem dan peraturan yang bagus dan jelas. Pelabuhan mereka pun jauh lebih besar dari Indonesia," pungkas dia. (Fik/Igw)