Salah satu yang tersulit dalam memproduksi peralatan berat di bidang listrik adalah membuat trafo 500 kilovolt (kv). Bulan depan Indonesia sudah mampu memproduksinya.
Belum banyak negara yang mampu membuat alat jenis itu. Di seluruh ASEAN baru Indonesia yang mampu. Maka Indonesia bisa segera masuk peta dunia yang memiliki prestasi teknologi kelistrikan.
Memang bukan BUMN yang mengerjakannya, tapi BUMN yang merangsangnya. Tiga tahun lalu Indonesia baru bisa memproduksi trafo 20 kv. Saya, yang ketika itu mulai menjabat Dirut PLN segera minta agar pabrik trafo tersebut segera meningkatkan kemampuan untuk memproduksi trafo 150 kv.
Tahun lalu Indonesia naik kelas lagi dengan memproduksi trafo 275 kv. Menjelang mengakhiri masa tugas di PLN saya minta ada produsen yang menjadi pelopor membuat trafo 500 kv. Permintaan saya itu ternyata direspons sungguh-sungguh oleh PT CG Power Bogor. Bulan depan lahirlah trafo 500 kv made in Indonesia.
 Sebuah trafo 500 kv harganya sekitar Rp 40 miliar. Bahkan sebelum saya menjadi Dirut PLN harga sebuah trafo jenis itu mencapai Rp 120 miliar. Dunia kelistrikan heboh. Pertanyaan sering diajukan kepada saya: bagaimana bisa membuat harga sebuah trafo turun drastis seperti itu?
Caranya gampang. Sebagai orang yang dulunya sering ke luar negeri, saya tahu berapa harga trafo sejenis di sana. Nur Pamudji, direksi PLN yang paling muda (sekarang Dirut PLN) bahkan langsung membandingkannya dengan harga trafo di Vietnam.
Tiap hari kami membicarakan mengapa harga trafo di Indonesia begitu mahal. Akhirnya ketemu: sistem tendernya yang membuat mahal. Maka begitu sistem tendernya diubah harga trafo langsung anjlok: tinggal 30 persennya!
Sejak itu direksi PLN rajin mengubah sistem pembelian. Termasuk sistem pembelian yang pro produksi dalam negeri. Alat seperti kWh meter (meteran), kabel, trafo 20 kv, dan seterusnya disistemkan harus produksi dalam negeri. Caranya: dalam tender memang sudah disebutkan harus produksi dalam negeri.
Saya pun sering menerima laporan yang sangat menggembirakan: pabrik-pabrik travo, kWh meter, kabel, dan seterusnya kewalahan. Mereka sibuk sekali memenuhi order. Sampai-sampai harus kerja tujuh hari seminggu.
Kebijakan seperti itu terus dilakukan di PLN. Saya tentu ingin seluruh BUMN memiliki kebijakan pembelian yang mengutamakan produksi dalam negeri. Hal itu bisa ditempuh dengan cara membuat sistem tendernya memang mensyaratkan itu.
 Bagaimana kalau di dalam negeri produsennya hanya satu? Bukankah akan lebih mahal? Karena tanpa pesaing?
Ada cara yang bisa dilakukan. Yakni sistem cost-plus atau cost-plus-plus. Pabrik tersebut harus mau diaudit mengenai struktur biaya produksinya. Lalu diperiksa harga-harga bahan bakunya. Harga bahan baku tidak bisa di-mark up. Produsen memang pandai tapi kita tidak boleh bodoh. Itulah prinsipnya.
 Jangan memberi peluang pemasok menyembunyikan harga pokok. Dengan demikian kita akan tahu berapa harga beli yang wajar.
 Kita ini sebenarnya tidak bodoh, tapi sogok-menyogoklah yang sering membuat orang pandai tiba-tiba bodoh. Lemahnya pembelaan terhadap produksi nasional sering kali bukan karena kebijakan yang salah, tapi lebih karena "kebodohan-kebodohan mendadak" seperti itu.
Mestinya kita juga bisa berbuat banyak dalam hal hand phone (HP), misalnya. Semua pihak tahu bahwa saat ini terlalu banyak HP ilegal. Pak Gita Wirjawan, Menteri Perdagangan, sering menyebut lebih 70 juta HP ilegal. Bahkan HP yang ada di Indonesia boleh dikata hampir 100% impor.
Kalau saja semua HP itu legal negara bisa memperoleh tambahan dana sedikitnya Rp 30 triliun setahun.
Saya sependapat dengan Pak Gita. Tapi untuk bisa memproduksi HP di dalam negeri tidak mudah. Bukan soal teknologinya tapi perlakuan pajaknya. BUMN seperti PT Inti pernah berusaha keras memproduksi HP tapi selalu kalah harga. Untuk impor suku cadang HP dikenakan pajak. Tapi impor HP secara utuh tidak dikenakan pajak.
Kalau Indonesia bisa membuat trafo 500 kv, apalah sulitnya membuat HP.
Penulis
Dahlan Iskan
Menteri BUMN
Belum banyak negara yang mampu membuat alat jenis itu. Di seluruh ASEAN baru Indonesia yang mampu. Maka Indonesia bisa segera masuk peta dunia yang memiliki prestasi teknologi kelistrikan.
Memang bukan BUMN yang mengerjakannya, tapi BUMN yang merangsangnya. Tiga tahun lalu Indonesia baru bisa memproduksi trafo 20 kv. Saya, yang ketika itu mulai menjabat Dirut PLN segera minta agar pabrik trafo tersebut segera meningkatkan kemampuan untuk memproduksi trafo 150 kv.
Tahun lalu Indonesia naik kelas lagi dengan memproduksi trafo 275 kv. Menjelang mengakhiri masa tugas di PLN saya minta ada produsen yang menjadi pelopor membuat trafo 500 kv. Permintaan saya itu ternyata direspons sungguh-sungguh oleh PT CG Power Bogor. Bulan depan lahirlah trafo 500 kv made in Indonesia.
 Sebuah trafo 500 kv harganya sekitar Rp 40 miliar. Bahkan sebelum saya menjadi Dirut PLN harga sebuah trafo jenis itu mencapai Rp 120 miliar. Dunia kelistrikan heboh. Pertanyaan sering diajukan kepada saya: bagaimana bisa membuat harga sebuah trafo turun drastis seperti itu?
Caranya gampang. Sebagai orang yang dulunya sering ke luar negeri, saya tahu berapa harga trafo sejenis di sana. Nur Pamudji, direksi PLN yang paling muda (sekarang Dirut PLN) bahkan langsung membandingkannya dengan harga trafo di Vietnam.
Tiap hari kami membicarakan mengapa harga trafo di Indonesia begitu mahal. Akhirnya ketemu: sistem tendernya yang membuat mahal. Maka begitu sistem tendernya diubah harga trafo langsung anjlok: tinggal 30 persennya!
Sejak itu direksi PLN rajin mengubah sistem pembelian. Termasuk sistem pembelian yang pro produksi dalam negeri. Alat seperti kWh meter (meteran), kabel, trafo 20 kv, dan seterusnya disistemkan harus produksi dalam negeri. Caranya: dalam tender memang sudah disebutkan harus produksi dalam negeri.
Saya pun sering menerima laporan yang sangat menggembirakan: pabrik-pabrik travo, kWh meter, kabel, dan seterusnya kewalahan. Mereka sibuk sekali memenuhi order. Sampai-sampai harus kerja tujuh hari seminggu.
Kebijakan seperti itu terus dilakukan di PLN. Saya tentu ingin seluruh BUMN memiliki kebijakan pembelian yang mengutamakan produksi dalam negeri. Hal itu bisa ditempuh dengan cara membuat sistem tendernya memang mensyaratkan itu.
 Bagaimana kalau di dalam negeri produsennya hanya satu? Bukankah akan lebih mahal? Karena tanpa pesaing?
Ada cara yang bisa dilakukan. Yakni sistem cost-plus atau cost-plus-plus. Pabrik tersebut harus mau diaudit mengenai struktur biaya produksinya. Lalu diperiksa harga-harga bahan bakunya. Harga bahan baku tidak bisa di-mark up. Produsen memang pandai tapi kita tidak boleh bodoh. Itulah prinsipnya.
 Jangan memberi peluang pemasok menyembunyikan harga pokok. Dengan demikian kita akan tahu berapa harga beli yang wajar.
 Kita ini sebenarnya tidak bodoh, tapi sogok-menyogoklah yang sering membuat orang pandai tiba-tiba bodoh. Lemahnya pembelaan terhadap produksi nasional sering kali bukan karena kebijakan yang salah, tapi lebih karena "kebodohan-kebodohan mendadak" seperti itu.
Mestinya kita juga bisa berbuat banyak dalam hal hand phone (HP), misalnya. Semua pihak tahu bahwa saat ini terlalu banyak HP ilegal. Pak Gita Wirjawan, Menteri Perdagangan, sering menyebut lebih 70 juta HP ilegal. Bahkan HP yang ada di Indonesia boleh dikata hampir 100% impor.
Kalau saja semua HP itu legal negara bisa memperoleh tambahan dana sedikitnya Rp 30 triliun setahun.
Saya sependapat dengan Pak Gita. Tapi untuk bisa memproduksi HP di dalam negeri tidak mudah. Bukan soal teknologinya tapi perlakuan pajaknya. BUMN seperti PT Inti pernah berusaha keras memproduksi HP tapi selalu kalah harga. Untuk impor suku cadang HP dikenakan pajak. Tapi impor HP secara utuh tidak dikenakan pajak.
Kalau Indonesia bisa membuat trafo 500 kv, apalah sulitnya membuat HP.
Penulis
Dahlan Iskan
Menteri BUMN