RI Justru Butuh Terkena Defisit Transaksi Berjalan

Dengan torehan defisit transaksi berjalan, ekonomi Indonesia tetap tumbuh di atas 6% pada 2012 dan diperkirakan berkisar 5,5%-5,9% di 2013.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 18 Okt 2013, 19:40 WIB
Diterbitkan 18 Okt 2013, 19:40 WIB
neraca-dagang-defisit-130902b.jpg
Siapa bilang negara yang mencatatkan defisit transaksi berjalan (current account) selalu dianggap negatif?. Terbukti dengan torehan defisit transaksi berjalan, ekonomi Indonesia tetap tumbuh di atas 6% pada 2012 dan diperkirakan berkisar 5,5%-5,9% sampai akhir 2013.

Menteri Keuangan (Menkeu) Chatib Basri memandang defisit transaksi berjalan perlu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan begitu, lapangan pekerjaan akan tercipta dan mengurangi pengangguran.

"Defisit transaksi berjalan tetap diperlukan tapi harus dalam besaran yang wajar untuk mendorong pertumbuhan. Kalau punya neraca transaksi berjalan surplus, ekonomi kita hanya akan bertumbuh di bawah 5%. Dampaknya kita tidak bisa menciptakan lapangan kerja dan akhirnya pengangguran bakal meningkat," terang dia di Jakarta, Jumat (18/10/2013).

Saat ini, Chatib bilang, defisit transaksi berjalan Indonesia terlampau tinggi mencapai 4,4% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Alhasil langsung membuat pasar bereaksi. Sehingga perlu menurunkannya ke level normal sekitar 2%-3% dari PDB.

"Kalau defisit transaksi berjalan bisa melaju pada kisaran itu, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai 6%. Untuk itu dalam jangka panjang, target penurunan defisit harus dikejar," tutur dia.

Dia mengaku, lantaran defisit transaksi berjalan yang berada di atas 3% itu, pemerintah sengaja membiarkan supaya pertumbuhan ekonomi tidak naik terlalu tinggi.

"Jadi turunin dulu defisitnya dari 4,4% sampai level masuk akal sedikit di atas 3% dan di bawah 3% pada tahun depan," sambungnya.

Dengan patokan pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,5%-5,9%, Chatib yakin angka itu tetap memposisikan Indonesia sebagai negara nomor dua tertinggi diantara negara-negara anggota G20. (Fik/Nur)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya