Pemerintah menilai meskipun harus menghadapi tantangan yang sangat berat sepanjang 2013, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2013 relatif lebih baik dibanding pertumbuhan di negara-negara lain.
Karena itu, meskipun pada 2014 merupakan tahun politik seiring pelaksanaan Pemilu dan Pemilihan Presiden, perekonomian Indonesia diperkirakan justru akan makin membaik dibanding tahun ini.
“Segala hal yang telah kita lakukan sepanjang tahun ini merupakan modal berharga menyongsong tahun 2014,” kata Prof. Firmanzah, PhD, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia seperti mengutip laman Sekretariat Kabinetdalam perbincangan di Jakarta, Senin (30/12) pagi.
Menurut Firmanzah, Indonesia perlu beryukur bahwa sepanjang 2013, telah mampu melewati sejumlah tantangan di bidang ekonomi.
"Berkat kerja keras kita semua termasuk Pemerintah (Pusat-Daerah), parlemen (Pusat-Daerah), dunia usaha, akademisi serta segenap elemen bangsa lainnya perekonomian Indonesia tetap tumbuh positif ditengah sejumlah tantangan,” ungkap dia.
Dia mengemukakan, terdapat enam tantangan strategis yang telah berhasil dilewati Indonesia dalam perekonomian nasional sepanjang 2013.
Pertama, terkait dengan upaya untuk membuat struktur fiskal tetap sehat, kuat dan berkelanjutan. Salah satu titik krusial dalam hal ini adalah keberhasila pemerintah melakukan penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi pada Juni 2013.
“Melalui hal ini, Indonesia terhindar dari ancaman defisit anggaran akibat melonjaknya subsidi yang tanpa penyesuaian melonjak menjadi Rp 297 triliun. Melalui penyesuaian harga BBM bersubsidi maka defisit fiskal sampai akhir 2013 diperkirakan tetap sehat dan dalam kisaran 2,41% dari PDB atau sekitar Rp 225,5 triliun,” papar Firmanzah.
Tantangan kedua, lanjut Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan itu, terkait dengan mengelola inflasi akibat sejumlah faktor seperti dampak penyesuaian harga BBM bersubsidi, volatilitas harga komoditas pangan dunia dan meningkatnya konsumsi akibat tingginya permintaan domestik.
Menurut Firmanzah, dari sisi ini, ekonomi Indonesia berjalan lebih efisien dan efektif bila kita bandingkan dengan periode dimana penyesuaian harga BBM bersubsidi dilakukan.
Diuraikannya, pada 2005, ketika penyesuaian harga BBM bersubsidi inflasi mencapai 17,11%. Penyesuaian harga BBM bersubsidi dilakukan kembali di 2008 dan inflasi pada saat itu mencapai 11,06%.
Pada 2013, ketika pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi, inflasi dapat dikendalikan dan diprediksi dibawah 8,5%.
Tantangan ketiga, kata Firmanzah, terkait menjaga daya saing nasional khususnya usaha meningkatkan investasi di sektor riil di tengah gejolak pasar keuangan dunia.
Menurut World Econmic Forum (WEF), posisi daya saing nasional pada 2013 meningkat dari posisi sebelumnya 50 meningkat menjadi peringkat 38 dunia.
“Hal ini juga menjelaskan meningkatnya realisasi investasi baik di sektor riil maupun infrastruktur nasional di sepanjang tahun 2013,” jelas Firmanzah.
Dia menyebutkan, sesuai data BKPM, sampai kuartal III-2013 realisasi investasi mencapai Rp 290 triliun atau meningkat sebesar 22,9% (yoy). Diperkirakan sampai akhir 2013 investasi di sektor riil dan infrastruktur dapat mencapai Rp 390 triliun.
Keempat, lanjut Firmanzah, terkait dengan mitigasi dampak rencana tapering-off stimulus moneter di amerika Serikat. Dampak atas rencana ini mengakibatkan tertekannya pasar keuangan dunia ditandai dengan terdepresiasinya nilai tukar mata uang, tertekannya indeks pasar modal, tertekannya cadangan devisa meningkatnya yield obligasi dan suku bunga acuan di banyak negara emerging dan berkembang.
Firmanzah menjelaskan, bagi Indonesia, selain masih tertekannya nilai tukar rupiah akibat juga tingginya permintaan dolar Amerika Serikat di akhir tahun, sejumlah indikator menunjukkan arah perbaikan. Hal ini dapat dibandingkan dengan 2008 dimana Indonesia harus mengatasi dampak krisis Subprime-Mortgage dan sekaligus menjelang Pemilu 2009.
Indeks harga saham gabungan berada dalam rentan 4.240-4.400 bandingkan dengan posisi terakhir penutupan perdagangan 2008 dimana IHSG hanya sebesar 1.355.
Cadangan devisa pada akhir November 2013 mencapai US$ 97 miliar jauh lebih tinggi dibandingkan pada 2008 sebesar US$ 51,6 miliar. BI rate sampai akhir 2013 sebesar 7,5% jauh lebih rendah dibandingkan pada desember 2008, saat BI rate mencapai 9,25%.
“Sejumlah lembaga pemeringkat internasional seperti Fitch, Moody’s, R&I, dan Standard and Poor’s tetap mempertahankan investment-grade Indonesia di tahun 2013,” tambah Firmanzah.
Kelima, kata Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan itu, terkait dengan upaya untuk mengurangi defisit transaksi berjalan.
Ketidakseimbangan antara permintaan domestik yang tinggi dengan masih perlu waktu dalam meningkatkan produksi nasional, kata Firmanzah, membuat defisit transaksi berjalan menjadi tantangan penting bagi perekonomian nasional.
Dia menyebutkan, dari sisi fiskal, pemerintah telah mengeluarkan 4 paket kebijakan disusul dengan dikeluarkannya 17 paket kebijakan untuk memduahkan doing-business di Indonesia.
“Defisit transaksi berjalan berhasil diturunkan pada kuartal III-2013 menjadi 8,4 miliar dollar AS atau 3,8% dari PDB dari posisi kuartal II-2013 yang mencapai US$ 9,9 miliar atau 4,4% dari PDB,” papar Firmanzah sembari menyebutkan, Bank Indonesia memperkirakan defisit transaksi berjalan 2013 akan dapat ditekan pada 3,5% dari PDB nasional.
Terakhir atau tantangan keenam, lanjut Firmanzah, terkait dengan upaya menjaga terus bergeraknya sektor riil utamanya sektor mikro, kecil dan menengah di Indonesia.
Terjaganya daya beli masyarakat serta perbaikan infrastruktur, kata Firmanzah, membuat terus bergeraknya dunia usaha di sektor ini.
Mengutip data dari Kementrian UKM dan Koperasi, lanjut Firmanzah, sampai 14 Desember 2013, realisasi penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) mencapai Rp 31 triliun dan melampui target sebesar Rp 30 triliun sepanjang 2013.
Sementara BI memperkirakan terdapat kenaikan pertumbuhan kredit sektor mikro sebesar 20persen di sepanjang tahun 2013.
Terus bergeraknya ekonomi di tataran riil ini, papar Firmanzah, membuat rasio kredit macet (non performing loan-NPL) perbankan nasional terjaga.
Dia menyebutkan, Tingkat Non Performing Loan (NPL) atau kredit macet hingga akhir 2013 berada di kisaran 1,9-2,0% jauh dibawah ketentuan maksimum 5%.
Sementara rasio kecukupan modal (CAR) di kisaran 18% menunjukkan kecukupan modal yang tinggi seperti ini menunjukkan ketahanan dan kemampuan perbankan nasional untuk memitigasi risiko-risiko seperti perlambatan ekonomi, kenaikan suku bunga, dan depresiasi nilai tukar rupiah.(Nrm)
Karena itu, meskipun pada 2014 merupakan tahun politik seiring pelaksanaan Pemilu dan Pemilihan Presiden, perekonomian Indonesia diperkirakan justru akan makin membaik dibanding tahun ini.
“Segala hal yang telah kita lakukan sepanjang tahun ini merupakan modal berharga menyongsong tahun 2014,” kata Prof. Firmanzah, PhD, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia seperti mengutip laman Sekretariat Kabinetdalam perbincangan di Jakarta, Senin (30/12) pagi.
Menurut Firmanzah, Indonesia perlu beryukur bahwa sepanjang 2013, telah mampu melewati sejumlah tantangan di bidang ekonomi.
"Berkat kerja keras kita semua termasuk Pemerintah (Pusat-Daerah), parlemen (Pusat-Daerah), dunia usaha, akademisi serta segenap elemen bangsa lainnya perekonomian Indonesia tetap tumbuh positif ditengah sejumlah tantangan,” ungkap dia.
Dia mengemukakan, terdapat enam tantangan strategis yang telah berhasil dilewati Indonesia dalam perekonomian nasional sepanjang 2013.
Pertama, terkait dengan upaya untuk membuat struktur fiskal tetap sehat, kuat dan berkelanjutan. Salah satu titik krusial dalam hal ini adalah keberhasila pemerintah melakukan penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi pada Juni 2013.
“Melalui hal ini, Indonesia terhindar dari ancaman defisit anggaran akibat melonjaknya subsidi yang tanpa penyesuaian melonjak menjadi Rp 297 triliun. Melalui penyesuaian harga BBM bersubsidi maka defisit fiskal sampai akhir 2013 diperkirakan tetap sehat dan dalam kisaran 2,41% dari PDB atau sekitar Rp 225,5 triliun,” papar Firmanzah.
Tantangan kedua, lanjut Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan itu, terkait dengan mengelola inflasi akibat sejumlah faktor seperti dampak penyesuaian harga BBM bersubsidi, volatilitas harga komoditas pangan dunia dan meningkatnya konsumsi akibat tingginya permintaan domestik.
Menurut Firmanzah, dari sisi ini, ekonomi Indonesia berjalan lebih efisien dan efektif bila kita bandingkan dengan periode dimana penyesuaian harga BBM bersubsidi dilakukan.
Diuraikannya, pada 2005, ketika penyesuaian harga BBM bersubsidi inflasi mencapai 17,11%. Penyesuaian harga BBM bersubsidi dilakukan kembali di 2008 dan inflasi pada saat itu mencapai 11,06%.
Pada 2013, ketika pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi, inflasi dapat dikendalikan dan diprediksi dibawah 8,5%.
Tantangan ketiga, kata Firmanzah, terkait menjaga daya saing nasional khususnya usaha meningkatkan investasi di sektor riil di tengah gejolak pasar keuangan dunia.
Menurut World Econmic Forum (WEF), posisi daya saing nasional pada 2013 meningkat dari posisi sebelumnya 50 meningkat menjadi peringkat 38 dunia.
“Hal ini juga menjelaskan meningkatnya realisasi investasi baik di sektor riil maupun infrastruktur nasional di sepanjang tahun 2013,” jelas Firmanzah.
Dia menyebutkan, sesuai data BKPM, sampai kuartal III-2013 realisasi investasi mencapai Rp 290 triliun atau meningkat sebesar 22,9% (yoy). Diperkirakan sampai akhir 2013 investasi di sektor riil dan infrastruktur dapat mencapai Rp 390 triliun.
Keempat, lanjut Firmanzah, terkait dengan mitigasi dampak rencana tapering-off stimulus moneter di amerika Serikat. Dampak atas rencana ini mengakibatkan tertekannya pasar keuangan dunia ditandai dengan terdepresiasinya nilai tukar mata uang, tertekannya indeks pasar modal, tertekannya cadangan devisa meningkatnya yield obligasi dan suku bunga acuan di banyak negara emerging dan berkembang.
Firmanzah menjelaskan, bagi Indonesia, selain masih tertekannya nilai tukar rupiah akibat juga tingginya permintaan dolar Amerika Serikat di akhir tahun, sejumlah indikator menunjukkan arah perbaikan. Hal ini dapat dibandingkan dengan 2008 dimana Indonesia harus mengatasi dampak krisis Subprime-Mortgage dan sekaligus menjelang Pemilu 2009.
Indeks harga saham gabungan berada dalam rentan 4.240-4.400 bandingkan dengan posisi terakhir penutupan perdagangan 2008 dimana IHSG hanya sebesar 1.355.
Cadangan devisa pada akhir November 2013 mencapai US$ 97 miliar jauh lebih tinggi dibandingkan pada 2008 sebesar US$ 51,6 miliar. BI rate sampai akhir 2013 sebesar 7,5% jauh lebih rendah dibandingkan pada desember 2008, saat BI rate mencapai 9,25%.
“Sejumlah lembaga pemeringkat internasional seperti Fitch, Moody’s, R&I, dan Standard and Poor’s tetap mempertahankan investment-grade Indonesia di tahun 2013,” tambah Firmanzah.
Kelima, kata Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan itu, terkait dengan upaya untuk mengurangi defisit transaksi berjalan.
Ketidakseimbangan antara permintaan domestik yang tinggi dengan masih perlu waktu dalam meningkatkan produksi nasional, kata Firmanzah, membuat defisit transaksi berjalan menjadi tantangan penting bagi perekonomian nasional.
Dia menyebutkan, dari sisi fiskal, pemerintah telah mengeluarkan 4 paket kebijakan disusul dengan dikeluarkannya 17 paket kebijakan untuk memduahkan doing-business di Indonesia.
“Defisit transaksi berjalan berhasil diturunkan pada kuartal III-2013 menjadi 8,4 miliar dollar AS atau 3,8% dari PDB dari posisi kuartal II-2013 yang mencapai US$ 9,9 miliar atau 4,4% dari PDB,” papar Firmanzah sembari menyebutkan, Bank Indonesia memperkirakan defisit transaksi berjalan 2013 akan dapat ditekan pada 3,5% dari PDB nasional.
Terakhir atau tantangan keenam, lanjut Firmanzah, terkait dengan upaya menjaga terus bergeraknya sektor riil utamanya sektor mikro, kecil dan menengah di Indonesia.
Terjaganya daya beli masyarakat serta perbaikan infrastruktur, kata Firmanzah, membuat terus bergeraknya dunia usaha di sektor ini.
Mengutip data dari Kementrian UKM dan Koperasi, lanjut Firmanzah, sampai 14 Desember 2013, realisasi penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) mencapai Rp 31 triliun dan melampui target sebesar Rp 30 triliun sepanjang 2013.
Sementara BI memperkirakan terdapat kenaikan pertumbuhan kredit sektor mikro sebesar 20persen di sepanjang tahun 2013.
Terus bergeraknya ekonomi di tataran riil ini, papar Firmanzah, membuat rasio kredit macet (non performing loan-NPL) perbankan nasional terjaga.
Dia menyebutkan, Tingkat Non Performing Loan (NPL) atau kredit macet hingga akhir 2013 berada di kisaran 1,9-2,0% jauh dibawah ketentuan maksimum 5%.
Sementara rasio kecukupan modal (CAR) di kisaran 18% menunjukkan kecukupan modal yang tinggi seperti ini menunjukkan ketahanan dan kemampuan perbankan nasional untuk memitigasi risiko-risiko seperti perlambatan ekonomi, kenaikan suku bunga, dan depresiasi nilai tukar rupiah.(Nrm)