Nelayan Disebut Masyarakat Paling Menderita Saat Ini

Gelombang tinggi yang terjadi di sebagian besar perairan Indonesia menahan para nelayan untuk pergi melaut.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 06 Feb 2014, 17:39 WIB
Diterbitkan 06 Feb 2014, 17:39 WIB
nelayan-130820c.jpg
Krisis ekonomi yang saat ini membelit Indonesia semakin membuat himpitan beban masyarakat berpenghasilan rendah, termasuk nelayan kian tinggi. Tekanan semakin terasa menyusul larangan penggunaan solar untuk kapal-kapal ikan di atas 30 GT.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa menceritakan sulitnya kehidupan para nelayan di Indonesia dalam beberapa pekan terakhir ini. Pasalnya, gelombang tinggi yang terjadi di sebagian besar perairan Indonesia menahan para nelayan untuk pergi melaut.

"Kemarin saya ditanyain nelayan, dan saya melihat saat ini masyarakat yang paling menderita adalah nelayan. Mereka tidak bisa melaut karena cuaca," ujar dia saat ditemui usai Rakor Evaluasi Kebijakan di kantornya, Jakarta, Kamis (6/2/2014).

Kata Hatta, nelayan sangat mengandalkan hasil tangkapan ikan untuk memperoleh penghasilan. "Tidak ada alternatif lain selain menangkap ikan," ucapnya singkat.

Jika ini berlarut-larut, tentu akan menyumbang kenaikan tingkat kemiskinan yang pada September lalu mencapai 11,47%. Solusinya, dia bilang, bantuan pemerintah harus terus berjalan sehingga dapat menekan laju kemiskinan.

"Makanya proteksi melalui bantuan harus jalan. Saya sudah kunjungi tiga kampung nelayan di Juwana, Carita, Tambak Lorok dan kondisinya memang kasihan. Mereka rata-rata tidak melaut," tutur dia.

Alhasil untuk menyambung hidup selama vakum berlayar, Hatta mengakui, nelayan-nelayan itu berwirausaha kecil-kecilan, seperti membuka warung dan lainnya.

"Maka dari itu, saya bagikan sembako, dan saya minta BUMN untuk fokus melakukan tanggung jawab sosialnya ke kantung-kantung orang miskin, terutama penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR). Karena mereka kadang cuma perlu Rp 2 juta untuk buka warung dan omzet Rp 50 ribu per hari saja sangat menolong," tukas dia.

Terkait larangan solar untuk kapal-kapal ikan, Hatta mengaku belum mengetahui secara persis aturan tersebut. "Saya lupa tanyakan ke Pak Wamen ESDM. Nanti saya akan bahas, termasuk soal nasib nelayan-nelayan ini," tandasnya.

Sebelumnya, Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas bumi (BPH Migas) mengeluarkan Surat BPH Migas Nomor: 29/07/Ka.BPH/2014 Tanggal 15 Januari 2014 tentang larangan konsumsi jenis BBM tertentu untuk kapal diatas 30 GT.

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perikanan dan Kelautan Yugi Prayatna mengatakan, masalah ini telah menimbulkan keresahan dan kemarahan para nelayan pemilik maupun nelayan pekerja kapal ikan di atas 30 GT.

"Saat ini ada lebih kurang 10 ribu kapal ikan di atas 30 GT yang tidak bisa melaut karena harus membeli BBM solar non-subsidi yang harganya tidak terjangkau, yakni dua kali lipat dari harga subsidi," ujarnya.

Pihaknya akan menunggu kebijakan pemerintah untuk memberikan solusi yang terbaik karena masalah seperti itu akan berdampak negatif pada produktivitas dan penghasilan para nelayan.

Selain itu pada akhirnya akan berpengaruh pada kegiatan perdagangan ikan di pasar ikan, industri perikanan dan pengolahan ikan tradisional serta usaha kecil yang berkaitan dengan hasil perikanan.

“Memang ironis, pemerintah masih bisa melakukan subsidi konsumsi BBM jenis premium milik pribadi di darat, sementara nelayan yang sangat memerlukan justru dihapus dari prioritas,” ungkap dia.

Yugi menambahkan, KADIN beserta asosiasi-asosiasi terkait akan melakukan pendekatan kembali dengan pemerintah, terutama dengan Menteri Koordinator Perekonomian untuk menindaklanjuti permasalahan itu. (Fik/Nrm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya