Liputan6.com, Jakarta - Perpustakaan Nasional Republik Indonesia yang terletak di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat memiliki kumpulan buku-buku huruf Braille yang tertata rapi di lemari-lemari yang tersedia pada layanan lansia dan disabilitas.
Perpustakaan Nasional yang didominasi dengan warna putih itu juga terdapat kursi roda, alat pembaca audio book, dan komputer. Semua itu dikhususkan untuk orang-orang gangguan penglihatan akut.
Komputer khusus yang terdapat disana memungkinkan pengguna memperbesar gambar pada buku yang menggunakan pemindai. Mesin tersebut, dapat membaca kalimat-kalimat yang tercetak di buku.
Advertisement
"Karena ini dari luar negeri jadi aksennya seperti orang Swedia," ujar Arum Nugrahanti, staf di tempat Layanan Lansia dan Disabilitas, dilansir Antara, Rabu (25/9/2019)
Layanan Lansia dan Disabilitas memiliki 3.276 judul buku edisi Braille dan 462 audio book atau buku yang disuarakan, yang meliputi biografi, fiksi, non-fiksi, buku agama, dan buku pengetahuan.
Koleksi novel fiksi edisi Braille milik Perpustakaan Nasional (Perpusnas) cukup lengkap, mencakup beberapa novel yang sudah diangkat ke layar lebar seperti Dilan karya Pidi Baiq dan Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Lebih Memilih Audio Book
Menurut Arum, umumnya penyandang disabilitas lebih memilih menggunakan audio book. Namun tidak sedikit pula yang menikmati buku-buku berhuruf Braille.
Bagi Arum, seorang penderita low vision atau kelainan penglihatan yang tidak dapat diperbaiki, novel tentang penyihir Harry Potter edisi Braille meninggalkan kesan tersendiri.
"Harry Potter kan banyak serinya, ada tujuh. Satu novel bisa dipecah dalam beberapa edisi Braille. Bayangkan ini bukunya ada tujuh," kata Arum.
Penyandang disabilitas biasanya mengunjungi Layanan Lansia dan Disabilitas Perpustakaan Nasional secara berkelompok.
Biasanya, kata Arum, mereka datang bersama komunitas menggunakan kendaraan khusus seperti TransJakarta Cares untuk menikmati koleksi bacaan perpustakaan.
"Sempat waktu itu mereka ke sini datang, senang sekali membaca lewat audio book sampai berganti buku beberapa kali. Bahkan ada yang bertahan di sini sampai sore," ujar Arum.
Advertisement
Tantangan Akses
Menurut aktivis Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) Furqon Hidayat, walaupun kehadiran teknologi sudah sangat membantu, tetapi akses literasi masih menjadi salah satu tantangan besar bagi penyandang disabilitas. Khususnya tuna netra yang ingin menempuh pendidikan ke jenjang lebih tinggi.
Dia menambahkan, meski sudah ada cara baru untuk mendapatkan bahan bacaan, ketersediaan bacaan edisi Braille atau audio book masih terbatas.
"Bahan bacaan bisa didapat cuma-cuma secara daring, kadang formatnya tidak memungkinkan untuk dibaca menggunakan aplikasi pembaca semacam Screen Reader," ucap Furqon.
Meski begitu, Furqon menegaskan, tantangan dan kendala itu tidak menyurutkan para penyandang tuna netra yang ingin menambah pengetahuan untuk mendapatkan bacaan.
Terbitkan Undang-Undang
Tantangan dan permasalahan akses buku bagi tuna netra dan orang dengan gangguan penglihatan akut menjadi perhatian negara-negara di dunia.
Pada 2013 lalu, disepakati Pakta Marrakesh di Maroko untuk mempermudah produksi dan transfer internasional format buku-buku khusus untuk tuna netra.
Pemerintah Indonesia juga sudah menerbitkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang menjamin integritas dan pemenuhan hak mereka sebagai warga negara, termasuk hak akan pendidikan.
Undang-Undang itu mencakup pemenuhan akses literasi bagi penyandang disabilitas. Menurut Undang-Undang tersebut, penyandang disabilitas berhak mendapatkan pendidikan bermutu dan akomodasi yang layak sebagai peserta didik. Penyandang disabilitas juga berhak atas aksesibilitas untuk memanfaatkan pelayanan publik dan fasilitas publik.
Furqon memuji pengesahan Undang-Undang tersebut. Namun dirinya menekankan perlunya pembentukan Komisi Nasional Disabilitas yang anggotanya para penyandang disabilitas untuk menggali masalah nyata yang dihadapi kaum disabilitas, terutama di bidang pendidikan dan literasi, serta memberikan solusi.
Advertisement
Diperlukan Sosialisasi
Saat ini, menurut Furqon, penyediaan sumber literasi bagi penyandang disabilitas sudah makin baik, namun belum tersosialisasikan dengan baik kepada kelompok-kelompok atau komunitas penyandang disabilitas.
Sosialisasi dengan cakupan yang lebih luas, menurut lulusan Universitas Negeri Jakarta itu, dibutuhkan agar para penyandang disabilitas mengetahui dan bisa mengakses fasilitas yang disediakan pemerintah.
"Sebenarnya yang dikehendaki tunanetra itu adalah ketersediaan bahan bacaan yang terjangkau. Misalnya terjangkau dari rumahnya atau tidak terlalu jauh," kata Furqon, yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Pertuni itu.
Dia memuji layanan yang disediakan oleh Perpunas RI. Namun, komunitas penyandang disabilitas tidak terpusat di daerah sekitar perpustakaan saja.
"Penyandang disabilitas yang tinggal di tempat yang jauh dari perpustakaan tentu tidak akan mudah menjangkau layanan tersebut," kata Furqon.
Masih Rendahnya Literasi Membaca
Masalah lainnya, kata Furqon, minat baca di kalangan penyandang disabilitas juga masih rendah sebagaimana di kalangan masyarakat Indonesia pada umumnya.
"Tuna netra masih belum sepenuhnya bisa mengikuti pendidikan dengan bermakna, karena terkadang terdapat kesulitan bahan bacaan atau sejenisnya," terang Furqon.
Dia melanjutkan, para penyandang disabilitas selain memiliki keterampilan juga mesti giat membaca dan meningkatkan literasi agar tidak menjadi objek belas kasihan.
"Saya tuna netra, tapi saya bisa jadi ustaz, memberikan penyuluhan agama kepada masyarakat. Berarti itu saya dihargai,"Â tukas Furqon.
Furqon berharap, akses pendidikan dan literasi bagi para penyandang disabilitas pada masa mendatang makin terbuka, sehingga mereka bisa makin berdaya dan kedepannya tunabetra dapat mengikuti pendidikan yang lebih bermakna.
Â
(Desti Gusrina)
Advertisement