Liputan6.com, Jakarta Bahasa isyarat adalah bahasa non verbal yang digunakan penyandang disabilitas tuli/rungu untuk berkomunikasi. Bahasa isyarat juga berperan sebagai alat bagi penggunanya untuk mendapatkan informasi dan mengidentifikasi diri.
Melansir penelitian Silva Tenrisara Isma yang dimuat Kongres Bahasa Indonesia (KBI), perbedaan mendasar antara bahasa isyarat dan bahasa lisan terletak pada modalitas atau sarana produksi dan persepsinya.
Baca Juga
Bahasa lisan diproduksi melalui alat ucap (oral) dan dipersepsi melalui alat pendengaran (auditoris), sementara bahasa isyarat diproduksi melalui gerakan tangan (gestur) dan dipersepsi melalui alat penglihatan (visual).
Advertisement
“Dengan demikian, bahasa lisan bahasa yang bersifat oral-auditoris, sementara bahasa isyarat bersifat visual-gestural,” tulis Silva dalam penelitiannya, dikutip pada Kamis (3/9/2020).
Simak Video Berikut Ini:
Perkembangan Bahasa Isyarat
Masa awal penggunaan bahasa isyarat dapat ditelusuri sejak era Plato 360 SM. Dalam karyanya, Cratylus menyatakan bahwa jika seseorang tidak mempunyai suara atau lidah seperti orang tuli, maka buatlah isyarat dengan menggunakan tangan, kepala, dan tubuh.
Keyakinan terhadap bahasa isyarat sebagai bahasa manusia yang alami pun dinyatakan oleh René Descartes pada abad ke-18.
Studi linguistik bahasa isyarat terbilang muda jika dibandingkan dengan perkembangan studi bahasa lisan di dunia. Kajian linguistik bahasa isyarat modern dianggap dipelopori oleh William Stokoe pada tahun 1960 melalui publikasi buku Sign Language Structure tentang struktur bahasa isyarat Amerika (ASL).
Buku tersebut berisi hasil penelitiannya yang menyatakan studi linguistik terhadap ASL membuktikan bahwa ASL merupakan bahasa tersendiri yang tidak didasarkan pada struktur bahasa dan kosakata bahasa Inggris.
Penelitian linguistik bahasa isyarat terus berkembang hingga saat ini dan mulai dilakukan di kawasan Asia pada tahun 1990-an.
Advertisement
Bahasa Isyarat di Indonesia
Di Indonesia, penelitian linguistik bahasa isyarat baru dimulai pada tahun 2000-an. Hingga kini, ada dua jenis bahasa isyarat yang dikenal yaitu Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo) dan Sistem Bahasa Isyarat Indonesia (SIBI).
Saat ini yang banyak digunakan adalah bahasa isyarat SIBI untuk acara formal dan kenegaraan.
“Nah ini teman-teman disabilitas sensorik rungu menyampaikan aspirasi beberapa waktu lalu kepada saya bahwa sebaiknya sekarang yang digunakan Bisindo karena mereka sudah meminta aspirasi itu sejak tahun 1975 tapi masih saja SIBI yang digunakan,” kata Cheta dalam webinar Dewan Pers (31/8/2020).
Alasan Bisindo lebih dipilih oleh teman tuli ketimbang SIBI adalah karena Bisindo berasal dari bahasa ibu. Akar bahasanya berasal dari bahasa Indonesia yang cenderung lebih umum dan universal untuk diekspresikan bahkan lebih mudah dimengerti.
“Kalau SIBI digunakan di acara formal atau sekolah tapi belum tentu semua komunitas tuli terpapar dengan dunia pendidikan. Jadi kadang bahasa isyarat yang disampaikan tidak mengekspresikan ekspresi mereka secara universal atau secara sebenarnya.”
SIBI sendiri berasal dari ASL sehingga kurang sesuai dengan bahasa isyarat Indonesia atau Bisindo.
“Otomatis ini juga menjadi penghalang untuk penyandang disabilitas sensorik rungu untuk mengakses informasi.”