Sekolah di Hong Kong Menawarkan Pendidikan Inklusif dengan Membuat Taman Lego

Rhenish Church Grace School, sekolah di Hong Kong akan membuat taman lego untuk memenuhu kebutuhan penyandang disabilitas

oleh Fitri Syarifah diperbarui 30 Nov 2022, 18:00 WIB
Diterbitkan 30 Nov 2022, 18:00 WIB
FOTO: 23 Tahun Penyerahan Hong Kong dari Inggris ke China
Anak-anak memegang bendera China saat upacara pengibaran bendera di sebuah taman kanak-kanak di Shenzhen, Provinsi Guangdong, China, Selasa (30/6/2020). Hong Kong menandai 23 tahun penyerahan dari Inggris ke Cina pada 1 Juli. (STR/AFP)

Liputan6.com, Jakarta Pendidikan penting untuk semua anak, tak terlepas bagi penyandang disabilitas. Namun lebih penting lagi menemukan cara pembelajaran yang bisa diadaptasi untuk semua kalangan dan membuat mereka merasa belajar itu menyenangkan.

Terlepas dari itu semua, tentu yang paling utama adalah menemukan sekolah yang mau mendidik putra/putrinya, mengingat hingga kini masih jarang ditemukan sekolah umum yang mau menerima siswa penyandang disabilitas, baik karena kurangnya jumlah maupun kemampuan pengajar hingga masalah akomodasi yang tidak memadai.

Rhenish Church Grace School, sekolah di Hong Kong yang menyediakan pendidikan menyeluruh bagi siswa berusia 6-18 tahun dengan disabilitas intelektual sedang dan kebutuhan pendidikan khusus (SEN). Hal ini bertujuan untuk memelihara perkembangan pribadi siswa melalui pembelajaran di dalam kelas dan berbagai kegiatan di luar kelas.

Salah satu orangtua, Barsha Gurung mengatakan dirinya kesulitan membesarkan putranya Jebson yang didiagnosis dengan gangguan spektrum autisme pada usia 28 bulan.

Sang ibu mengatakan topik disabilitas fisik dan intelektual bukanlah sesuatu yang banyak dibicarakan di antara teman-temannya. Ini menambah kesulitannya karena mereka tidak berempati atau memahami kondisi anaknya.

“Setelah kami mengetahui diagnosisnya, keluarga besar kami mulai tinggal bersama sehingga lebih banyak orang, seperti saudara perempuan saya, dapat mendukung saya dalam membesarkan putra saya,” katanya, dilansir dari SCMP.

Tetapi Gurung mengatakan bahwa dirinya cukup beruntung menerima bantuan dari pekerja sosial dan keluarganya untuk menemukan sekolah bagi putranya, yang sekarang berusia 8 tahun, yang memahami kebutuhannya, mengarahkannya ke Rhenish Church Grace School begitu ia menyelesaikan taman kanak-kanak.

 

Sekolah Menyertakan Lego Sebagai Bagian Pendidikan di Kelas

“Jebson belajar skating baru-baru ini, pelajaran praktis dari luar itu mahal dan di luar kemampuan kami,” kata Gurung. “Sekolah menyediakan banyak kegiatan ekstrakurikuler, dan anak saya belajar banyak melalui pelajaran praktis ini.”

Dengan dukungan Operation Santa Claus (OSC), inisiatif penggalangan dana tahunan oleh South China Morning Post dan penyiar publik RTHK sejak 1988, sekolah berencana untuk memperluas lingkungan belajarnya dengan proyek yang disebut "Let's Go Build Together".

“Proyek ini menggabungkan Lego sebagai alat pendidikan di kelas normal dan memungkinkan siswa dengan ketidakmampuan belajar, terutama siswa autisme, untuk dapat lebih fokus pada proses pembelajaran,” jelas Wong Hei-nam, seorang guru di sekolah tersebut.

 

Rencana Membuat Taman Bermain Lego Inklusif

Sebagai salah satu dari 15 tujuan amal yang didanai tahun ini untuk peringatan 35 tahun OSC, proyek ini bertujuan untuk membuat taman bermain Lego inklusif yang juga terbuka untuk orang-orang dari luar sekolah.

Wong mengatakan bahwa kesalahpahaman dan diskriminasi terhadap siswa penyandang disabilitas intelektual telah menciptakan rasa segregasi dan keterputusan yang lazim antara sekolah dan masyarakat lainnya.

Dengan pembuatan taman bermain Lego, sekolah dapat mendorong lebih banyak interaksi antara kedua kelompok untuk meningkatkan kesadaran dan memperkuat inklusi sosial, tambahnya.

“Keluarga dengan siswa SEN adalah minoritas dari minoritas yang menjadikan tugas pengasuhan dan tanggung jawab mendidik sangat penting mengingat ada juga tekanan dari masyarakat,” jelas Wong.

“Oleh karena itu, [para guru] bersedia melakukan upaya ekstra untuk memberikan kualitas hidup yang lebih baik bagi para siswa dan keluarganya.”

Sementara Gurung mengakui ada kendala bahasa antara dirinya dan para guru, ia mengatakan bahwa mereka sangat membantu dengan berkomunikasi dengannya di luar jam kerja normal mereka.

“Mereka akan selalu menindaklanjuti dan mengajukan pertanyaan, mereka terus membantu kami dengan segala cara yang memungkinkan,” katanya.

 

Sekolah Tekankan Pendidikan Mental, Fisik, dan Sosial

Sang ibu juga menggambarkan sekolah sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan Jebson dan keluarganya, dengan putranya mengambil kesempatan untuk mengikuti lebih banyak kegiatan olahraga dan sosial, serta belajar bagaimana mengurus dirinya sendiri.

Sekolah juga telah membantu meringankan beban keuangan keluarganya dengan menyediakan program sekolah terpadu yang ditargetkan untuk meningkatkan kesehatan mental dan fisik murid-muridnya, tambahnya.

“Dokter hanya mendiagnosis anak-anak dengan masalah tersebut tetapi tidak ada obat yang diberikan oleh mereka, sedangkan sekolah memberikan terapi yang membantu mengatur seluruh rangkaian kehidupan mereka. Ini terapi hidup," kata Gurung.

Dengan diluncurkannya proyek “Ayo Membangun Bersama”, Wong dan Gurung mengatakan bahwa mereka berharap proyek ini dapat membuka jalan bagi penerimaan dan inklusi siswa SEN yang lebih besar di masyarakat.

Sejak 1988, OSC telah mengumpulkan HK$353 juta (Rp 711 Miliar) untuk mendukung komunitas Hong Kong melalui 323 proyek amal.

Infografis 6 Cara Dukung Anak dengan Long Covid-19 Kembali ke Sekolah. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis 6 Cara Dukung Anak dengan Long Covid-19 Kembali ke Sekolah. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya