Mungkinkah Kiamat Seperti di 'The Day After Tomorrow' Terjadi?

Film The Day After Tomorrow menampilkan berubahnya iklim bumi secara ekstrem. Mungkinkah kejadian serupa terjadi di dunia nyata?

oleh Indy Keningar diperbarui 23 Okt 2015, 17:32 WIB
Diterbitkan 23 Okt 2015, 17:32 WIB
Akankah Kiamat Seperti di 'The Day After Tomorrow' Terjadi?
Film The Day After Tomorrow menampilkan berubahnya iklim bumi secara ekstrem. Mengantarkan pada hari akhir.

Liputan6.com, Hamburg - Film-film bertema kiamat kerap menghiasi daftar film blockbuster Hollywood-- dengan skenario yang berbeda-beda. Ada film yang mengisahkan hari akhir diakibatkan oleh makhluk angkasa, seperti Pacific Rim. Dan ada juga The Day After Tomorrow, yang menampilkan skenario jatuhnya gelombang raksasa, mengakibatkan perubahan iklim besar-besaran.

Dalam film yang dirilis pada tahun 2004 tersebut, perubahan iklim mengakibatkan jatuhnya Atlantic Meriodinal Overturning Circulation (AMOC), yakni arus besar di lautan Atlantik. Kejadian itu mengantarkan pada bencana besar-besaran, seperti tornado yang menghancurkan Los Angeles, banjir di New York, dan membekunya belahan bumi Utara.

Dikutip dari Science Daily 23 Oktober 2015, kredibilitas ilmiah dari film ini memang mengundang kritik dari pengamat cuaca. Skenario dari jatuhnya AMOC, sebagai konsekuensi dari pemanasan rumah kaca antropogenik, dinilai tidak seperti demikian.

Menggunakan model prakiraan cuaca ECHAM di Max-Planck Institute di Hamburg, Profesor Sybren Drijhout dari Ilmu Kelautan dan Bumi di Universitas Southampton, mengungkapkan bahwa dalam 20 tahun mendatang, bumi akan mendingin, bukannya menghangat jika benar jatuhnya AMOC terjadi secara serentak. Sehingga, pemanasan global akan kembali berjalan sebelum AMOC jatuh. Kecuali temperatur bumi rata-rata yang mengalami penurunan 0,8 derajat celcius.

Baca juga: Bumi Ditabrak Planet Nibiru dan Kiamat pada Desember 2015?

Hujan badai menerpa New York City sebelum suhu mendingin, mengakibatkan kota tenggelam di es. (foto: 20th Century Fox)

Profesor Drijhout menuturkan: "Planet bumi akan pulih dari jatuhnya AMOC dalam 40 tahun, jika pemanasan global berjalan dalam tingkat seperti sekarang ini. Namun, di dekat batas Timur di Atlantik Utara (termasuk kepulauan Britania), akan makan waktu lebih dari satu abad sebelum suhu udara kembali normal."

Menariknya, efek dari pendinginan atmosfer paska jatuhnya AMOC diasosiasikan dengan aliran panas dari atmosfer ke laut. Yang disaksikan selama hiatus iklim di 15 tahun terakhir.

"Saat pendinginan atau pengurangan panas diakibatkan oleh ledakan gunung berapi atau berkurangnya emisi rumah kaca, aliran panas akan berbalik, dari laut ke atmosfer. Pembalikan energi serupa juga terjadi di antara tenaga radiaktif atmosfer dan sirkulasi lautan internal bisa menjadi faktor terjadinya periode hiatus iklim," ungkap Profesor Drijhout.

 

Bagaimanapun, studi yang diterbitkan di Nature Scientific Reports, menyatakan bahwa periode pemanasan lemah yang saat ini terjadi tidak berasal dari satu akibat saja. 

Kemungkinan besar El Nino punya peran dalam perubahan di laut Selatan dalam angin barat yang berubah dan meningkat.

"Ada pengecualian, periode hiatus diakkibatkan oleh perubahan di daya atmosfer. Baik karena letusan gunung berapi, emisi aerosol di Asia, atau emisi gas rumah kaca yang berkurang. Perubahan dalam sirkulasi lautan bermain peran pentung. Variasi alam telah menetralkan efek rumah kaca selama kurang lebih satu dekade, namun saya berharap periode ini selesai sekarang." (Ikr/Rcy)

Baca juga: Mengintip Bunker Mewah Perlindungan 'Kiamat' Para Miliader

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya