Liputan6.com, Jakarta - Marie Curie, Gertrude B. Elion, Rosalind Franklin, Rita Levi-Montalcini, Chien Shiung Wu, Ada Lovelace, Hedy Lamarr... sejarah mencatat, banyak kaum hawa punya andil dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia.
Namun, apa yang terjadi belakangan cukup mengherankan. Fakta menunjukkan, jumlah perempuan yang memilih karir di bidang sains dan teknologi kian menurun jumlahnya.
Awalnya, keajaiban ilmu pengetahuan menarik minat siswa laki-laki maupun perempuan. Jumlah mahasiswa dan mahasiswi yang memilih jurusan sains, teknologi, teknik, dan matematika -- science, technology, engineering, mathematics, and medicine (STEMM) --pun relatif setara.
Namun, proporsi tersebut kian menurun di tingkat pascasarjana. Jumlah perempuan yang menjadi profesor di bidang sains bahkan bisa dihitung dengan jari.
Baca Juga
Hal tersebut diakui oleh ilmuwan dari University of Newcastle, Australia, Profesor Caroline McMillen.
"Bahkan di Australia, jumlah perempuan yang menjadi profesor bidang sains kurang dari 5 orang," kata dia dalam diskusi di Kedutaan Besar Australia, Jakarta, Rabu 2 Maret 2016.
Diakui atau tidak, hal tersebut salah satunya dipicu oleh diskriminasi gender yang dialami perempuan.
Sebagai salah satu upaya untuk mengatasi diskriminasi gender dan isu kesetaraan terkait karier perempuan di bidang sains dan teknologi -- khususnya di Australia -- Profesor McMillen ikut berpartisipasi dalam program Science in Australia Gender Equity (SAGE) Pilot.
Perempuan berkaca mata tersebut juga bertekad untuk mendorong pihak universitas mendukung pelatihan bagi ilmuwan atau calon ilmuwan perempuan.
Profesor McMillen juga melakukan sejumlah riset ke sejumlah negara, untuk mengetahui bagaimana perempuan bisa berperan lebih, juga untuk menemukan faktor penunjang dan penghambat bagi kaum hawa.
"Misalnya di Korea Selatan, generasi lebih awal mengalami sejumlah kesulitan, sementara perempuan pada masa kini lebih optimistis dan ambisius," kata dia.
Ia mengakui, berdasarkan pengalamannya, tak mudah bagi perempuan untuk berkarir sebagai ilmuwan atau periset.
"Saya belajar untuk menghadapi kegagalan dan penolakan," kata dia. Sebab, orang lain hanya mengakui seorang ilmuwan saat ia berhasil menemukan sesuatu yang berharga.
"Orang hanya bisa menerima keberhasilan. Tak akan ada yang mau mengingat upaya yang gagal," tambah dia.
Advertisement
Namun, Profesor McMillen menambahkan, menjadi ilmuwan atau periset perempuan bukan hanya sekedar bekerja di dalam laboratorium.
"Tidak hanya demi ilmu pengetahuan, tetapi bagaimana ilmu pengetahuan bisa menciptakan pekerjaan untuk menggerakkan perekonomian," kata ahli biomedis itu.
Menjadi ilmuwan, dia menambahkan, juga menulis di jurnal ilmiah, melakukan perjalanan, dan mempresentasikan karyanya.
Tak hanya di bidang sains, jumlah perempuan yang menonjol dalam kepemimpinan suatu negara atau perusahaan juga belum seperti yang diharapkan.
"Itu terjadi dari barat sampai ke timur dunia. Di Australia wanita yang menjadi CEO atau punya peran penting di pemerintahan sekitar 12 sampai 30 persen," tambah dia. Di sejumlah negara jumlahnya lebih rendah lagi.
Profesor McMillen berharap, media berperan mengkampanyekan kesetaraan gender dalam bidang sains dan pengetahuan.
Jurnalis, ia menambahkan, bisa menjembatani bahasa ilmuwan yang teknis dengan masyarakat yang terbiasa dengan istilah sederhana.
"Sejumlah ilmuwan juga merasa malu dan tidak bersedia diekspos ," kata Profesor McMillen. Lagipula, "ilmuwan tak bisa mengatakan hal yang pasti terjadi, baru dugaan atau kemungkinan."