Liputan6.com, Kabul - Suara bising yang berasal dari pisau cukur mengikis rambut-rambut di kepala yang sudah lama tidak dicuci. Hentakan-hentakan kaki dari mereka yang sakau mewarnai hari-hari di sebuah pangkalan militer NATO di Kabul, Afghanistan.
Kabel-kabel internet yang dulunya menghubungkan gedung ini dengan sejumlah satelit sekarang hanya teronggok dan berselimutkan debu.
Baca Juga
Baca Juga
Pasca penarikan pasukan NATO pada tahun 2014, pangkalan militer itu diubah menjadi panti rehabilitasi bagi pecandu heroin. Tempat yang dikenal sebagai Champ Phoniex itu sebelumnya diketahui merupakan 'rumah' bagi ratusan tentara Inggris dan AS.
Advertisement
Seperti dikutip CNN, Rabu (11/5/2016) pihaknya kerap mendapat undangan untuk menghadiri sejumlah acara yang diorganisir NATO dengan maksud menunjukkan pada dunia bahwa perang di Afghanistan telah dimenangkan dan mereka bisa pulang.
Sekarang, kemenangan itu diartikan berbeda, yaitu ketika siapapun berada di dalam kungkungan tembok tinggi tersebut diharapkan dapat memenangkan diri mereka sendiri atas keinginan untuk mengonsumsi heroin.
Camp Phoenix, secara resmi telah berubah. Tembok yang dulunya dibangun untuk membentengi diri dari serangan dari pasukan Taliban kini berfungsi memenjarakan para pemakai heroin.
A
Afghanistan sejak lama dikenal sebagai produsen opium dunia, karenanya tidak sulit bagi siapa saja mendapatkan heroin. Mereka yang frustasi dan galau dengan cepat menjadikan obat-obatan terlarang itu sebagai pelarian.
Data PBB menunjukkan 1,9 hingga 2,4 juta orang dewasa yang merupakan pengguna narkoba ada di Afghanistan. Jumlah itu setara dengan sekitar 12,6% dari populasi dewasa. Sementara data di tingkat global pengguna narkoba 5,2%
Masih menurut lembaga dunia itu, pada 2015 terdapat 3.300 ton opium yang dipanen di Afghanistan, sama dengan angka pada tahun 2000.
Para pasien biasanya datang dengan sukarela, walaupun ada beberapa yang 'terpaksa' dibawa ke sana.
Sejumlah keluarga kerap kali harus 'memaksa' anggota keluarga mereka yang menjadi pecandu untuk direhabilitasi karena mereka kelelahan merawatnya atau setelah polisi meringkus mereka di jalanan.
Tak jarang, ada pasien yang datang karena kesadaran sendiri, misalnya seorang pria bernama Wais (45). Ia baru saja memulai proses pemulihan.
Pusat rehabilitasi ini tidak melakukan proses penyembuhan secara bertahap, karena tidak ada obat methadone di sana. Yang ada obat anti depresi dan makanan yang sudah dalam kondisi dingin. Padahal, methadone lazim dipakai di negara-negara Barat untuk memudahkan pasien ketika menghadapi gejala sakau.
Mula-mula, rambut Wais dicukur plontos, entah demi alasan kesehatan atau sebagai pengingat tentang tahapan baru dalam hidupnya. Tak ada pemangkas listrik, hanya pisau cukur sekali pakai yang meranggas rambut Wais yang tebal dan hitam. Lima menit kemudian, ia tampil botak tanpa jenggot. Lalu terhuyung-huyung menunggu pemeriksaan medis.
Gejala sakau sudah terlihat, “Aku merasa nyeri di sekujur tubuh dan merasa sangat lelah. Kalau ada pisau, ingin rasanya membelah-belah tubuh ini.”
Menurut wakil direktur panti tersebut Dr. Dariush Osmain, "Kadang-kadang nyerinya sangat berat sehingga pasiennya malah mencoba membakar kamar-kamar mereka."
Sejumlah pecandu pun dilaporkan pernah menggunakan kabel-kabel internet yang bergelantungan di langit-langit untuk mencoba menggantung diri.
Osmani menyebutkan begitu banyak cara yang dipakai pecandu untuk menyelundupkan heroin ke dalam panti rehabilitasi tersebut. Beberapa modus yang telah digunakan antara lain, menyembunyikan heroin di dalam buah-buahan, di dalam tubuh manusia, atau bahkan dilempar dari balik tembok.
Bahaya terbesar justru datang dari para pengedar yang melihat pusat pemulihan itu sebagai ancaman terhadap bisnis mereka.
Fasilitas jutaan dolar yang dibangun oleh NATO ini, setidaknya meninggalkan manfaat bagi rakyat Afghanistan, yakni sebagai tempat pemulihan mereka yang terjerat narkoba.